Archive | Podjok Selasa RSS for this section

Takut gagal?

Oleh : Agus Hari

 

Billi PS dalam bukunya Dare to Fail mengangkat sebuah cerita yang sampai sekarang masih saya ingat. Dalam cerita tersebut ada salah seorang pemuda yang memiliki suatu penyakit yang membuatnya tervonis akan mati beberapa bulan ke depan. Lalu sang pemuda tadi berpikir, apa yang bisa ia perbuat sebelum mati?

Kemudian dia mendengar kerajaan membuka lowongan untuk menjadi tentara. Pemuda desa ini berpikir bahwa mungkin inilah kesempatan terbaik baginya untuk mengakhiri hidup. ya. Sangat menyenangkan tentunya mengakhiri hidup sebagai seorang prajurit kerajaan. Ia takkan divonis mati sebagai seorang yang lemah karena menyerah pada penyakitnya. Tapi, ia akan diberi gelar sebagai pahlawan oleh kerajaan. Dan tentunya namanya akan harum di kemudian hari.

Lalu bergabunglah sang pemuda desa ini. Dia kemudian menjadi seorang prajurit kerajaan yang melalui hari – harinya untuk berperang. Yang dipikirkan pemuda ini adalah bagaimana agar ia mati di medan perang. Maka, setiap mulai perang dirinya maju paling depan, dengan harapan ditebas pedang musuh. Sambil terus ia mengayunkan pedangnya, ia selalu memasuki medan yang paling berbahaya dalam pertempuran. Harapannya satu, yaitu segera menjemput ajalnya di medan pertempuran.

Tapi, takdir berkehendak lain. Kematian tak juga menghampiri. Bahkan, sang Panglima kerajaan melihat seorang pemuda ini sebagai pemuda yang gagah berani. Lalu, diusulkanlah oleh panglima perang agar sang pemuda ini diangkat menjadi panglima karena keberaniannya.

Sang pemuda inipun menghadap ke istana. Ia dipanggil oleh sang raja untuk mendapatkan gelar sebagai panglima. Tapi, sang pemuda ini menolak. Dia menyatakan bahwa dirinya tidak layak menjadi panglima. Ketika raja bertanya alasannya, maka sang pemuda menjawab bahwa dirinya dalam beberapa bulan lagi akan mati terserang penyakitnya.

Rajapun berkata,”tenanglah. Orang sehebat kamu tak boleh mati. Kamu harus tetap hidup!” Lalu rajapun memerintahkan seluruh tabib kerajaan untuk berkumpul, membicarakan mengenai penyakit pemuda tadi.

Setelah beberapa pekan, para tabib berhasil menyembuhkan penyakit sang pemuda. Sungguh luar biasa. Sang raja dan seluruh warga kerajaan sangat bergembira atas suksesnya para tabib menyembuhkan penyakit pemuda desa tadi. Maka, diangkatlah sang pemuda menjadi seorang panglima kerajaan.

Lalu, mulailah pemuda desa memimpin pasukan kerajaan untuk berperang. Tapi, kini ia tak segagah dulu. Bahkan jauh. Kini dirinya tidak lagi memburu kematian, justru menghindarinya. Buat apa dia berperang, toh nanti malah mati di medan perang. Padahal, kini posisinya kan sebagai panglima dimana ia bisa mendapatkan fasilitas yang mewah dari kerajaan.

Selanjutnya, kekalahan demi kekalahan pun mampir dalam setiap peperangan. Pemuda desa tadi pun kemudian dipecat dari panglima kerajaan. Dia dianggap gagal. (agushari)

Arti Belajar

Oleh : Agus Hari

 

Ketika berbicara mengenai belajar (learning), Reza M Syarif dalam bukunya Personal Excellence mangajukan tiga kata kunci yaitu improvement (pertumbuhan), development (pengembangan), dan empowerment (pemberdayaan). Reza menekankan tiga kunci diatas untuk menilai sebuah pembelajaran. Jadi, kalau mau menilai pembelajaranmu berhasil atau tidak, ukurlah dengan ketiga kunci diatas.

 

Yang pertama adalah mengukur dengan improvement. Dalam belajar, kita bertumbuh atau tidak tergantung dari kedewasaan kita. Orang akan dikatakan dewasa apabila ia mampu bertanggung jawab tidak hanya pada dirinya, tapi juga pada orang lain. Setiap tindakan berarti bisa dipertanggungjawbakan secara publik. Jadi, kalau kamu ingin disebut belajar, berarti kamu telah berani mempertanggungjawabkan segala tindakanmu kepada siapapun.

 

Yang kedua adalah mengukur dengan development. Yang namanya belajar ya harus mengalami pengembangan. Pengembangan ini diartikan mau untuk membagi kesuksesan dengan orang lain. Jadi semacam take and give. Kita berusaha melakukan pengembangan dengan memberikan sesuatu pada orang lain, yaitu berupa ilmu yang kita miliki.

 

Yang ketiga adalah mengukur dengan empowerment. Kata – kata ‘pemberdayaan’ menurut Kami identik dengan pengerahan potensi yang ada secara maksimal. Jadi, orang yang belajar adalah mereka yang bisa mengetahui bakatnya,kemudian menggunakan bakat dan potensinya itu secara maksimal untuk mencapai kesuksesan.

 

Banyak sekali orang yang berjalan tanpa arah. Ini karena ia tak memberdayakan kemampuannya sendiri. Padahal, setiap orang sebenarnya unik. Setiap orang memiliki bakat sendiri yang berbeda dengan orang lain. Kalau setiap orang mampu memberdayakan secara maksimal potensinya, saya yakin akan sukses. (agushari)

Belajar dari HAMKA

Oleh : Agus Hari

                Di tengah berbagai upaya banyak orang untuk meraih gelar Doktor, kemudian berjuang menjadi seorang profesor, saya tenggelam dalam berbagai diskusi mengenai layak tidaknya seseorang meraih gelar tersebut. Tapi, bukan diskusi mengenai layak dan tidak yang ingin saya suguhkan dalam tulisan ini karena bagi saya siapapun yang meraih gelar tersebut mereka adalah layak. Kalau dianggap tidak layak di sebagian manusia lain, saya yakin ada sebagian manusia lain yang menganggapnya layak.

 

Soal membuat layak dan tidak, kita patut belajar dari HAMKA. Hamka yang memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah hanya seorang lulusan SD kelas tiga, tetapi kemudian ia bisa mendapatkan gelar profesor doktor. Aneh ya, hanya lulusan SD tapi gelarnya Prof.Dr?

 

Hamka sempat mengikuti sekolah resmi sampai kelas tiga saja. Setelah itu, ia habiskan waktunya untuk belajar agama di rumah bersama Ayahnya. Dari sanalah kemudian muncul keinginan belajar yang menggebu – gebu.

 

Setiap kali ayahnya berbincang dengan para tokoh pergerakan mengenai politik, Hamka selalu mendengarkan dan tertarik. Ia menjadi seorang anak kecil yang lambat laun memahami politik Indonesia.

 

Keinginannya belajar membuatnya merantau ke Yogyakarta. Dia sendiri dari Minang. Ia merantau ke Yogyakarta pada usia 16 tahun untuk berguru pada HOS Cokroaminoto dkk, kemudian usia 17 tahun pun merantau lagi ke Pekalongan untuk berguru pada Ar Sutan mansur.

 

Umur 19 tahun ia pergi haji. Ia tidak hanya pergi untuk haji, tapi belajar agama pada tokoh – tokoh agama di Arab.Dan inilah awal yang membuatnya makin cinta dan yakin pada agamanya. Maka, yang dilakukan kemudian adalah aktif di Muhammadiyah.

 

Usia 28 tahun, ia mulai untuk menulis berbagai buku. Total buku yang telah ditulisnya adalah 118 buku. Usia 41 tahun mulai mengajar di berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Ia diundang sebagai guru tamu karena  keluasan pemikirannya. Bahkan, ia juga mengajar di Amerika (beberapa kali), Pakistan dan Mesir. Di Mesir inilah ia mendapatkan gelar Mahaguru Luar bIasa (Prof.Dr) dari Universitas Al Azhar yang terkenal itu. Tidak lama setelah itu, Universitas Kebangsaan Malaysia pun melakukan hal yang sama. Universitas tersebut memberikan gelar yang sama kepada Hamka.

 

Demikian sekelumit kisah Hamka. Jalan yang ditempuhnya menjadi seorang Profesor menurut saya adalah jalan yang patut ditiru. (agushari)

Berapa Gaji Anda ??

Oleh: Agus Hariyanto

Saya mencoba mencari – cari data penghasilan rata – rata orang Indonesia. Pendapatan per kapita di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 27.487.046.94 per tahun atau sekitar Rp 2.290.587,24 per bulannya. Ini merupakan angka tetap, yaitu angka yang resmi ditetapkan oleh BPS sebagai Pendapatan per kapita di Indonesia versi Badan Pusat Statistik. Sedangkan pada tahun 2012, Pendapatan per kapita orang Indonesia menunjukkan peningkatan hingga menjadi Rp 30.674.674,07 per tahunnya, atau apabila dibagai 12 akan menjadi sekitar Rp 2.556.222,84 per bulan. Ini merupakan angka sementara, yang berarti angka ini hanya bersifat temporer dan masih bisa berubah walaupun perubahannya tidak akan melenceng jauh dari angka sementara tersebut. Dan pada tahun 2013, pendapatan per kapita Indonesia kembali meningkat menjadi di angka Rp 32.463.736,28 per tahun atau sekitar Rp 2.705.311,36 per bulan. Untuk tahun 2015, saya sendiri belum mendapatkan datanya.

Sumber: http://www.adrianoize.com/2014/06/rata-rata-penghasilan-orang-indonesia.html
Lalu, dengan melihat data di atas, berapa gaji fresh graduate?
Saya pun mendapatkan link gaji dari http://dlowongankerja.com/daftar-standard-gaji-perusahaan-fresh-graduate-2015-indonesia/ tahun 2015 yang menyatakan sebagai berikut:

Sektor Sumber Daya Alam dan Energi (Daftar Standard Gaji Perusahaan Fresh Graduate 2015)
Anda bisa menilik Daftar Standard Gaji Perusahaan untuk Fresh Graduate 2015 dari sector Sumber Daya Alam dan Energi. Setidaknya anda beberapa perusahaan dari sector ini yang mampu memberikan gaji yang cukup tinggi untuk fresh graduate. Perusahaan yang dimaksud adalah sebagai berikut: arutmin (8,5 juta per bulan), adaro energy (8,8 juta per bulan), KPC (9,8 juta per bulan), berau coal (9 juta per bulan), PT Indo Tambang Raya Megah (9,3 juta per bulan), cikarang listrik indo (4,5 juta per bulan), dan Bakrie Sumatra Plantation (4,2 juta per bulan).

Sektor Keuangan
Sudah disinggung sebelumnya jika gaji yang diberikan, tergantung sector tempat anda bekerja. Inilah Daftar Standard Gaji Perusahaan untuk Fresh Graduate 2015 yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan yang bergerak pada bidang jasa keuangan. Perusahaan-perusahaan tersebut diantaranya: ACC (5,5 juta per bulan), BNI (4,6 juta per bulan), bukopin (6,8 juta per bulan), City Bank (8,1 juta per bulan), Bank Muamalat (6 juta per bulan), ODP bank Mandiri (4,3 juta per bulan untuk daerah dan 4,8 juta per bulan untuk pusat), ODP BTN (6,8 juta per bulan).

Sektor BUMN (Daftar Standard Gaji Perusahaan Fresh Graduate 2015)
Perusahaan milik pemerintah biasanya memberikan gaji yang cukup besar untuk fresh graduate. Tentunya, hal tersebut sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh pekerjanya. Berikut ini beberapa perusahaan BUMN yang siap memberikan gaji tinggi untuk fresh graduate, diantaranya: pertamina (8 juta per bulan), PLN (5 juta per bulan), Pusri (5 juta per bulan), Pelindo (5,5 juta per bulan), P.T Timah (5,3 juta per bulan), Krakatau Steel (3,3 juta per bulan), P.T Indah Karya (3,7 juta per bulan), dan MT Krakatau Posco (5,7 juta per bulan).

Tapi, setelah saya mendiskusikan dengan beberapa kawan, daftar gaji di atas “ketinggian”. Banyak fresh graduate yang digaji sekitar 4 jutaan saja di Jakarta. Sedangkan untuk di daerah, gaji akan lebih rendah lagi.
Bagaimana menurut Anda. Apa Gaji Anda lebih rendah dari fresh graduate dan Rata-rata pendapatan orang Indonesia?

Jiwa Riset

Melakukan penelitian sebenarnya kelanjutan dari rasa ingin tahu kita terhadap sebuah persoalan yang muncul. Misalnya kita biasa melewati sebuah rute jalan yang halus. Lalu, dalam sebuah perjalanan jauh di luar kota, kita mendapati perjalanan dengan jalan penuh lubang. Tidak nyaman kan? dengan rasa tidak nyaman itu kita ingin tahu, mengapa jalan di daerah tersebut banyak lubang dan tidak diperbaiki oleh pemerintah sedangkan di daerah kita jalan rusak sedikit saja diperbaiki.

Pertanyaan di atas dapat menuntun kita pada sebuah penelitian sederhana. Mungkin kita akan bertanya pada kawan di daerah tersebut, orang yang kompeten dan mungkin pula menelusuri melalui berita di koran dan internet. Dengan penelusuran yang kita lakukan, kita akan mendapatkan banyak sekali informasi seperti kemungkinan perbedaan struktur tanah, struktur birokrasi, struktur ekonomi dan mungkin pula tidak meratanya pembagian alokasi dana oleh pemerintah pusat.

Apa yang kita lakukan di atas adalah penelitian. Semua dimulai dari rasa ingin tahu. Masalahnya adalah seberapa besar kita ingin tahu akan banyak hal di sekitar kita?

Saya merasakan pendidikan yang saya enyam tidak mendukung saya untuk menjadi periset. Rasa ingin tahu saya seolah “dibunuh” di sekolah. Saya dicekoki dengan buku – buku pelajaran yang saya sendiri tidak pernah ditanya mengenai manfaat buku tersebut bagi hidup saya. Jadi, pelajaran akan menjadi sesuatu yang membosankan. Lebih membosankan lagi jumlah pelajaran yang sangat banyak dan mata pelajaran yang disampaikan di ruang 8×8 meter.

Terkadang, saya membayangkan sistem pendidikan yang memacu anak untuk “ingin tahu”. Misalnya dalam sebuah pelajaran matematika yang tidak sekedar menulis angka dan angka. Tapi, mengaplikasikan dalam kehidupan. Saya beri contoh situasi ketika belajar berhitung angka satu sampai sepuluh. Pelajaran tersebut dapat dilakukan dengnan memberi tugas pada anak untuk menghitung berapa jumlah anggota keluarga di rumah, atau berapa jumlah pintu di rumah, atau berapa jumlah tempat sampah di rumah. Lalu, sang anak diminta menceritakan hal ini di depan teman – temannya. Anak – anak lain boleh bertanya mengenai siapa nama anggota keluarga yang disebutkan, misalnya kakak sekarang sekolah dimana, hobi kakak dsb.

Ketika sang anak mempraktekkan menghitung jumlah apapun itu di rumah, kemudian mempresentasikan, anak sudah belajar dua hal sekaligus. Anak belajar matematika dan berani untuk mengutarakan pendapat.

Mungkin ilustrasi di atas terlalu sederhana. Tapi, sebenarnya pelajaran seperti di atas dapat diterapkan pada anak SD, SMP maupun SMA dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Misal di anak SMP, maka anak akan menyampaikan sekaligus menulis untuk majalah dinding mengenai apa yang dia hitung di rumah. Bagi anak SMA dia akan mempraktekkan dengan membuat presentasi dengan bahan kertas atau dengan media komputer. Simple dan memiliki pengaruh pada anak.

Belajar Fisika, Biologi dan pelajaran lain pun, menurut saya dapat diadaptasi dengan cara demikian. Misalnya belajar mengenai daya listrik dalam studi Fisika dimana anak – anak dapat diberi tugas menghitung daya di rumah masing – masing. Lalu, berapa Kwh per hari, perbulan, bahkan pertahun yang digunakan oleh keluarganya. Bisa juga muncul pertanyaan konsumsi listrik terbanyak di alat memasak kah atau penerangan. Dengan cara ini, anak diajak mengaplikasikan ilmu yang dipelajari dengan memahami lingkungan sekitar. Mungkin tidak hanya rumah sendiri, bisa juga rumah kakek atau rumah paman.

Intinya, anak seharusnya punya jiwa riset. Sekolah menjadi ruang dimana rasa ingin tahu itu dipelihara, bukan dibunuh. Menurut saya, Inilah modal penting yang akan menuntun anak membuat penemuan di masa yang akan datang!

Ingin jadi Pengusaha

Steven Jobs dalam sebuah pidato monumental di Stanford tahun 2005 menceritakan kisahnya membangun Apple. Dalam bahasa lugas, dia mengungkapkan dirinya beruntung karena menemukan apa yang dicintai dalam hidup ketika usianya masih awal 20an. Dia dan Woz memulai perusahaan Apple dari garasi. Sepuluh tahun kemudian, Apple menjadi perusahaan senilai dua milyar USD dengan lebih dari 4000 karyawan.
Siapa pemuda yang tak mau memiliki kesuksesan dalam bisnis seperti Steven Jobs? Saya yakin sebagian besar menginginkannya. Dengan menjadi pengusaha maka kita akan bebas menentukan hari kerja, bebas menggaji diri kita dan lain sebagainya. Saya kira keunggulan posisi pengusaha dibandingkan posisi pekerjaan lain telah diketahui cukup baik oleh masyatakat Indonesia.
Global Entrepreneurship Monitor (GEM) pada tahun 2013, melakukan survai mengenai keinginan warga negara untuk menjadi pengusaha. Dalam survai tersebut menunjukkan bahwa keinginan berwirausaha masyarakat Indonesia adalah yang kedua tertinggi di ASEAN setelah Filipina. Fakta ini tentu menggembirakan.
Sayangnya, fakta di lapangan tahun 2015 menunjukkan persentase jumlah pengusaha di Indonesia baru 1,65 persen dari jumlah penduduk. Persentase tersebut jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, atau Thailand, yang masing-masing memiliki persentase pengusah sebanyak 7 persen, 5 persen dan 3 persen.
Berkaca dari keinginan dan fakta di atas, apa betul kita ini baru sampai tahap sekedar “ingin menjadi pengusaha” saja?

Goreng Rekening

Saya mendengar istilah “goreng rekening” sekitar satu bulan lalu, Januari 2015 ketika seorang sahabat bercerita mengenai bagaimana cara berhutang di bank. Dia menceritakan, praktik “goreng rekening” dilakukan oleh banyak orang untuk meraup keuntungan. Cara ini pula yang diajarkan di beberapa event seminar yang mengatasnamakan “membeli properti tanpa hutang”, dan seminar sejenis. Jadi, ilmu “goreng rekening” mungkin ilmu yang berharga bagi Anda.
Apakah mungkin seseorang tanpa penghasilan besar hutang sampai 2 Milyar? Secara sederhana saya akan menjawab tidak mungkin. Tapi, dalam istilah “goreng rekening”, praktik ini dimungkinkan.
Caranya kita harus memiliki usaha, kemudian kita memiliki beberapa kawan setia yang mau membantu untuk memperbaiki profil keuangan kita di bank. Kita bisa bekerja sama dengan kawan – kawan kita tersebut untuk saling memperbaiki profil keuangan di bank. Misal kita memiliki uang 10 juta rupiah. Teman kita ada 5 yang memiliki uang sejumlah yang sama. Dengan modal 60 juta rupiah, kita bisa menggoreng rekening dengan cara membuat uang 60 juta tersebut keluar masuk rekening kita.
Membuat keluar masuk uang tidak akan ribet kalau kita memiliki banyak kawan. Sebagai misal kita meminta pekan ini enam orang transfer masing – masing 10 juta ke rekening. Lalu, kita ambil 50 juta di akhir pekan. Di pekan selanjutnya, kita bisa mengambil 50 juta yang kemudian kita berikan lagi ke teman yang lain untuk mentransfer uang tersebut ke rekening kita. Jadi, seolah – olah mereka adalah konsumen kita.  Tindakan mereka transfer uang adalah dalam rangka membayar jasa atau barang yang kita perdagangkan.
Dengan melakukan hal tersebut secara konsisten, kita akan memiliki profil keuangan berupa uang keluar masuk rekening sekitar 200 juta. Kita bisa melakuan praktik ini sampai tiga atau empat bulan. Bilang saja ke bank kalau uang yang ditarik dari rekening dilakukan untuk jalan – jalan dan sebagainya.
Nah, setelah itu, ajukan saja hutang ke bank. Misal hutang sejumlah 2 Milyar. Dari uang 2 milyar, kita gunakan 1 Milyar untuk membeli tanah yang lokasinya strategis. Kemudian 500 juta untuk membeli rumah dan tempat usaha sederhana untuk kita, lalu 500 juta lagi kita biarkan ada di rekening.
Uang 500 juta di rekening nantinya akan diambil secara otomatis oleh bank untuk diambil sebagai pembayaran hutang. Anggaplah misalnya diambil sejumlah 24 juta per bulan, maka uang 500 juta dapat membuat kita membayar cicilan minimal 20 bulan ke depan. Jadi, kita tidak usah pusing – pusing soal cicilan selama 20 bulan.
Setahun atau ketika melihat tanah yang kita beli sudah memiliki nilai strategis, saatnya kita menjual tanah tersebut. Ingat, kita membeli tanah seharga 1 M dan hutang kita di bank sejumlah 2 M. Jadi, tanah tersebut minimal harus laku 2 M. Jika sudah mencapai harga 2 M, tinggal feeling kita aja kira – kira bisa naik lagi atau tidak. Jika tidak, ya jual saja seharga 2 M.
Nah, uang penjualan tanah tersebut kita berikan ke bank untuk membayar hutang kita. Kita pun untung sejumlah  500 juta berupa tanah dan tempat usaha. Dan kalau tanah laku sebelum 20 bulan, artinya kita juga untung dari uang yang ada di rekening.
Mendengar cerita kawan saya diatas, saya menggut – manggut. Maklum, saya awam sekali dalam hal investasi dan bisnis, karena keseharian saya disibukkan dengan ternak teri alias antar anak antar istri, lalu berkutat dengan buku dan film di malam hari. Saya sungguh heran dengan cara bisnis yang disampaikan sahabat saya ini.
Lalu, saya berpikir apakah pihak bank akan rugi dengan praktik ini? Ternyata tidak! Bank akan dibayar sejumlah hutang yang diberikan, jika skenario diatas lancar. Jika skenario tidak lancar, maka aset yang dimiliki nasabah akan disita, atau akan dibayar oleh asuransi.
Sampai disini, saya puyeng juga. Apa iya pihak bank tidak mengetahui praktik ini. Atau saya yang “terlalu awam” dalam praktik bisnis yang semacam ini? Entahlah…

Wonosobo, 14 Februari 2015

Harta, Anak dan Agama

IMG-20151117-WA0005

Oleh: Agus Hari

          Pada tahun 10 H, sahabat nabi yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash sakit parah. Kemudian, Rasulullah SAW menjenguknya. Sa’ad merupakan orang kaya dan memiliki satu orang anak perempuan. Atas kecintaannya pada Islam, Sa’ad menanyakan kepada Rasulullah mengenai kondisinya. Sa’ad menanyakan, “bolehkah saya bersedekah 2/3 hartaku?” Pertanyaan Sa’ad ini tentu merujuk pada keinginannya agar harta yang dimiliki bermanfaat besar bagi ummat. Rasul menjawab, “jangan!”. Mengetahui Rasulllah melarang, Sa’ad kembali menanyakan, “bagaimana kalau setengah dari harta yang kumiliki?” Rasulullah kembali menjawab “Jangan!”. Sa’ad pun kembali menanyakan, “bagaimana kalau sepertiga?”Maka Rasulullah menjawab, “Boleh. Namun sepertiga itu sudah banyak. Sungguh seandainya meninggalkan keturunan dalam kondisi kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam kondisi yang meminta – mintapada orang lain.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan hartamu untuk mencari wajah Allah, kecuali engkau akan diberi pahala. Sampaipun yang engkau berikan untuk makan istrimu” (HR Bukhari, Muslim).

Kisah diatas sederhana, tapi maknanya besar bagi kita dalam memahami relasi harta, anak, dan islam. Harta yang kita miliki, tentu harus melalui proses dan cara yang halal. Setelah itu, kita tidak boleh mengabaikan keturunan dan agama sebagai bagian dari harta tersebut. Sebesar apapun cinta kita pada agama, kita tidak boleh melupakan keturunan. Begitupun ketika cinta kita pada keturunan sedemikian besar, kita tidak boleh melupakan kalau harta berpotensi menjadi “amal jariyah” alias amal yang tidak terputus.  Oleh karena itu, gambaran hadis diatas jelas, yaitu menginfakkan sepertiga dari harta yang dimiliki. Selebihnya, bisa diberikan pada anak dan istri.

Kisah diatas menemukan momentumnya saat ini, dimana orang tua dan anak seringkali “tabu” membicarakan harta. Ketabuan itu muncul (mungkin) dikarenakan kisah kekeluargaan yang terputus gara – gara berebut harta warisan. Dengan demikian, lebih baik tidak membicarakan soal harta. Sebagian sahabat saya seringkali berujar  kalau yang ingin diwariskan kepada anak adalah ilmu. Tolak ukurnya sederhana, yaitu mau sekolah setinggi apapun akan dibiayai, tapi soal harta biarlah dia mencari sendiri. Mungkin Anda akan sependapat dengan apa yang dikatakan beberapa sahabat saya tersebut. Tapi, apakah pandangan tersebut akan berubah setelah membaca hadis di atas? Wallahu a’lam.