Archive by Author | sumerudipta

Waktu untuk Merasa

Saya menyukai kegiatan menulis.  Blog ini, yang sedang anda baca ini, merupakan salah satu project yang saya buat bersama dengan teman-teman saya untuk menyalurkan kesukaan saya tersebut. Belum aktif benar kami mengisi blog ini. Terkadang kesibukan menjadi kendala tersendiri untuk menjalankan kewajiban komitmen kami. Saya memiliki komitmen untuk mengisi tulisan setiap hari Sabtu, seringkali tulisan baru saya kerjakan Minggu dan saya postingkan Senin, dan yang paling sering saya tidak menyelesaikan tulisan saya di Minggu itu lalu saya menyatakan bahwa saya berhutang tulisan untuk minggu depannya.

 

Kesibukan adalah hal yang paling bertanggung jawab dalam setiap alasan yang saya kemukakan. Namun, mungkin yang paling utama adalah saya tidak memberikan prioritas yang utama bagi berlangsungnya blog ini. namun, memang itulah yang tengah terjadi.

 

Saya memang berniat untuk menjadikan hari Sabtu, yang merupakan tanggung jawab saya untuk mengisi blog ini, sebagai hari cerpen. Namun, untuk selalu mengisi blog dengan Cerpen setiap minggunya ternyata saya mengalami kesulitan. Seperti yang sudah dikemukakan di atas, kesibukan menjadi kambing hitam yang sangat legam. Namun terkadang, saya sudah didepan laptop untuk menyelesaikan tulisan saya namun ide tidak kunjung muncul dan meluncur menjadi kata-kata di kertas elektronik saya. Di dalam dunia kepenulisan, hal ini dinamakan Writing Block. Salah satu hal yang menjadi momok bagi banyak penulis baru.

 

Beberapa kali saya mencoba merenungkan kendala ini. terkadang saya pada fase produtikvitas yang tinggi, bahkan sampai asyiknya, saya dapat mengerjakan tulisan hingga hari sudah sangat larut. Namun, diwaktu yang lain, saya benar-benar tidak mampu menuliskan kata-kata apapun walau hanya beberapa paragraf saja. Setelah saya meneliti diri saya sendiri, pada fase-fase seperti ini terjadi karena saya kurang merasa apa yang terjadi disekitar saya. Aktivitas yang berlebih dan juga pikiran yang meluap-luap menyebabkan diri saya tidak mampu untuk menangkap yang senyatanya terjadi. Disisi lain, waktu yang padat menjadikan saya kurang membaca baik itu koran ataupun buku yang menumpuk di antrian daftar baca buku saya. Dialog yang biasa saya lakukan dengan teman-teman untuk membuka wawasan-wawasan baru juga tidak dapat saya lakukan untuk menambah informasi bagi barang yang ada dibalik mata saya. Saya juga tidak mampu melakukan riset tulisan yang telah saya catat sebagai ide dari cerpen saya. Pada intinya, saya tidak melakukan berbagai hal yang akan mendukung keluarnya ide ketika saya harus menulis.

 

Sepertinya untuk beberapa kesempatan kedepan saya akan mempostingkan tulisan berupa celotehan-celotehan saya saja sebagai upaya menggugurkan kewajiban saya saja. Namun, saya mencoba kembali untuk mencari “Waktu untuk Merasa”. Saya berharap setelah purna “Waktu untuk Merasa” saya bisa kembali menulis cerpen dan mungkin Puisi juga (yang sudah 2 bulan tidak saya pegang lagi). Saya harap itu tidak lama lagi.

Takut gagal?

Oleh : Agus Hari

 

Billi PS dalam bukunya Dare to Fail mengangkat sebuah cerita yang sampai sekarang masih saya ingat. Dalam cerita tersebut ada salah seorang pemuda yang memiliki suatu penyakit yang membuatnya tervonis akan mati beberapa bulan ke depan. Lalu sang pemuda tadi berpikir, apa yang bisa ia perbuat sebelum mati?

Kemudian dia mendengar kerajaan membuka lowongan untuk menjadi tentara. Pemuda desa ini berpikir bahwa mungkin inilah kesempatan terbaik baginya untuk mengakhiri hidup. ya. Sangat menyenangkan tentunya mengakhiri hidup sebagai seorang prajurit kerajaan. Ia takkan divonis mati sebagai seorang yang lemah karena menyerah pada penyakitnya. Tapi, ia akan diberi gelar sebagai pahlawan oleh kerajaan. Dan tentunya namanya akan harum di kemudian hari.

Lalu bergabunglah sang pemuda desa ini. Dia kemudian menjadi seorang prajurit kerajaan yang melalui hari – harinya untuk berperang. Yang dipikirkan pemuda ini adalah bagaimana agar ia mati di medan perang. Maka, setiap mulai perang dirinya maju paling depan, dengan harapan ditebas pedang musuh. Sambil terus ia mengayunkan pedangnya, ia selalu memasuki medan yang paling berbahaya dalam pertempuran. Harapannya satu, yaitu segera menjemput ajalnya di medan pertempuran.

Tapi, takdir berkehendak lain. Kematian tak juga menghampiri. Bahkan, sang Panglima kerajaan melihat seorang pemuda ini sebagai pemuda yang gagah berani. Lalu, diusulkanlah oleh panglima perang agar sang pemuda ini diangkat menjadi panglima karena keberaniannya.

Sang pemuda inipun menghadap ke istana. Ia dipanggil oleh sang raja untuk mendapatkan gelar sebagai panglima. Tapi, sang pemuda ini menolak. Dia menyatakan bahwa dirinya tidak layak menjadi panglima. Ketika raja bertanya alasannya, maka sang pemuda menjawab bahwa dirinya dalam beberapa bulan lagi akan mati terserang penyakitnya.

Rajapun berkata,”tenanglah. Orang sehebat kamu tak boleh mati. Kamu harus tetap hidup!” Lalu rajapun memerintahkan seluruh tabib kerajaan untuk berkumpul, membicarakan mengenai penyakit pemuda tadi.

Setelah beberapa pekan, para tabib berhasil menyembuhkan penyakit sang pemuda. Sungguh luar biasa. Sang raja dan seluruh warga kerajaan sangat bergembira atas suksesnya para tabib menyembuhkan penyakit pemuda desa tadi. Maka, diangkatlah sang pemuda menjadi seorang panglima kerajaan.

Lalu, mulailah pemuda desa memimpin pasukan kerajaan untuk berperang. Tapi, kini ia tak segagah dulu. Bahkan jauh. Kini dirinya tidak lagi memburu kematian, justru menghindarinya. Buat apa dia berperang, toh nanti malah mati di medan perang. Padahal, kini posisinya kan sebagai panglima dimana ia bisa mendapatkan fasilitas yang mewah dari kerajaan.

Selanjutnya, kekalahan demi kekalahan pun mampir dalam setiap peperangan. Pemuda desa tadi pun kemudian dipecat dari panglima kerajaan. Dia dianggap gagal. (agushari)

Arti Belajar

Oleh : Agus Hari

 

Ketika berbicara mengenai belajar (learning), Reza M Syarif dalam bukunya Personal Excellence mangajukan tiga kata kunci yaitu improvement (pertumbuhan), development (pengembangan), dan empowerment (pemberdayaan). Reza menekankan tiga kunci diatas untuk menilai sebuah pembelajaran. Jadi, kalau mau menilai pembelajaranmu berhasil atau tidak, ukurlah dengan ketiga kunci diatas.

 

Yang pertama adalah mengukur dengan improvement. Dalam belajar, kita bertumbuh atau tidak tergantung dari kedewasaan kita. Orang akan dikatakan dewasa apabila ia mampu bertanggung jawab tidak hanya pada dirinya, tapi juga pada orang lain. Setiap tindakan berarti bisa dipertanggungjawbakan secara publik. Jadi, kalau kamu ingin disebut belajar, berarti kamu telah berani mempertanggungjawabkan segala tindakanmu kepada siapapun.

 

Yang kedua adalah mengukur dengan development. Yang namanya belajar ya harus mengalami pengembangan. Pengembangan ini diartikan mau untuk membagi kesuksesan dengan orang lain. Jadi semacam take and give. Kita berusaha melakukan pengembangan dengan memberikan sesuatu pada orang lain, yaitu berupa ilmu yang kita miliki.

 

Yang ketiga adalah mengukur dengan empowerment. Kata – kata ‘pemberdayaan’ menurut Kami identik dengan pengerahan potensi yang ada secara maksimal. Jadi, orang yang belajar adalah mereka yang bisa mengetahui bakatnya,kemudian menggunakan bakat dan potensinya itu secara maksimal untuk mencapai kesuksesan.

 

Banyak sekali orang yang berjalan tanpa arah. Ini karena ia tak memberdayakan kemampuannya sendiri. Padahal, setiap orang sebenarnya unik. Setiap orang memiliki bakat sendiri yang berbeda dengan orang lain. Kalau setiap orang mampu memberdayakan secara maksimal potensinya, saya yakin akan sukses. (agushari)

Belajar dari HAMKA

Oleh : Agus Hari

                Di tengah berbagai upaya banyak orang untuk meraih gelar Doktor, kemudian berjuang menjadi seorang profesor, saya tenggelam dalam berbagai diskusi mengenai layak tidaknya seseorang meraih gelar tersebut. Tapi, bukan diskusi mengenai layak dan tidak yang ingin saya suguhkan dalam tulisan ini karena bagi saya siapapun yang meraih gelar tersebut mereka adalah layak. Kalau dianggap tidak layak di sebagian manusia lain, saya yakin ada sebagian manusia lain yang menganggapnya layak.

 

Soal membuat layak dan tidak, kita patut belajar dari HAMKA. Hamka yang memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah hanya seorang lulusan SD kelas tiga, tetapi kemudian ia bisa mendapatkan gelar profesor doktor. Aneh ya, hanya lulusan SD tapi gelarnya Prof.Dr?

 

Hamka sempat mengikuti sekolah resmi sampai kelas tiga saja. Setelah itu, ia habiskan waktunya untuk belajar agama di rumah bersama Ayahnya. Dari sanalah kemudian muncul keinginan belajar yang menggebu – gebu.

 

Setiap kali ayahnya berbincang dengan para tokoh pergerakan mengenai politik, Hamka selalu mendengarkan dan tertarik. Ia menjadi seorang anak kecil yang lambat laun memahami politik Indonesia.

 

Keinginannya belajar membuatnya merantau ke Yogyakarta. Dia sendiri dari Minang. Ia merantau ke Yogyakarta pada usia 16 tahun untuk berguru pada HOS Cokroaminoto dkk, kemudian usia 17 tahun pun merantau lagi ke Pekalongan untuk berguru pada Ar Sutan mansur.

 

Umur 19 tahun ia pergi haji. Ia tidak hanya pergi untuk haji, tapi belajar agama pada tokoh – tokoh agama di Arab.Dan inilah awal yang membuatnya makin cinta dan yakin pada agamanya. Maka, yang dilakukan kemudian adalah aktif di Muhammadiyah.

 

Usia 28 tahun, ia mulai untuk menulis berbagai buku. Total buku yang telah ditulisnya adalah 118 buku. Usia 41 tahun mulai mengajar di berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Ia diundang sebagai guru tamu karena  keluasan pemikirannya. Bahkan, ia juga mengajar di Amerika (beberapa kali), Pakistan dan Mesir. Di Mesir inilah ia mendapatkan gelar Mahaguru Luar bIasa (Prof.Dr) dari Universitas Al Azhar yang terkenal itu. Tidak lama setelah itu, Universitas Kebangsaan Malaysia pun melakukan hal yang sama. Universitas tersebut memberikan gelar yang sama kepada Hamka.

 

Demikian sekelumit kisah Hamka. Jalan yang ditempuhnya menjadi seorang Profesor menurut saya adalah jalan yang patut ditiru. (agushari)

Manusia Lama

Sekarang ini alam sedang berusaha bahagia dalam kesengsaraan. Buktinya burung-burung masih saja berkicau di pagi hari yang sudah tidak lagi biru, melainkan kelabu. Mungkin alam suka berbohong, atau justru hanya pasrah dengan apa yang dilakukan manusia-manusia dengan kebul asap yang keluar dari mobilnya setiap hari. Tapi yang jelas, kicauan burung yang tidak diketahui tulus tidaknya, berhasil membuat Wira terbangun dari tidurnya.

Bersyukur ia masih ada burung yang sudi bernyanyi menemani sekawanannya yang telah menghianati alam. Andai ia bisa mengubah bumi Jakarta ini hanya dengan mengucap mantra, akan dilakukannya sejak lama. Tapi apa daya, itu mustahil. Selain itu pula dia akan memiliki sebutan musyrik nantinya.

Sekejap Wira bangkit dari kasurnya kemudian spontan saja melihat jam yang menempel di dinding sejak semalam baru dipasangnya. 07.00 WIB, masih terlalu pagi untuk keluar rumah. Tidak ada penghuni lainnya di rumah itu selain dirinya sendiri. Maka tak ada salahnya untuk menetap di rumahnya yang seringkali ia tinggalkan sendiri itu dahulu. Untuk melepas kerinduan sekaligus melepaskan diri dari kesibukan kuliah sejenak.

Dengan santai ia melangkahkan kakinya menuju ruang dapur. Di sana peralatan sungguh tertata rapi. Tapi akan lebih rapi lagi jika panci di atas kompor tak ada di sana. Wira sendiri mengutuk panci itu mengapa bisa ada di sana. Tapi ia langsung mengunci mulutnya setelah ia ingat bahwa dua hari yang lalu ia membuat mie instan untuk menuruti kata perutnya yang setelah setengah malam menemaninya lembur.

There’s a song that inside of my soul…” handphone-nya yang tiba-tiba berdering mengalihkan perhatiannya dari sebuah panci.

“Eh, Rez, ada apa?…. oh, hmm… ya… jam dua?… oke,” seketika ia menutup teleponnya. Mimik wajahnya langsung berubah. Ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya. Langkahnya maju meninggalkan dapur, menuju kembali ke kamarnya. Ia rasa pagi-santainya telah rusak dengan sempurna.

***

Di sinilah ia sekarang, tempat yang paling malas ia kunjungi: toko buku. Pesanan Reza melalui telepon pagi tadi sebenarnya bisa saja ditolaknya. Tapi tugas dari dosen kali ini menyangkut kelangsungan hidup mahasiswa-mahasiswi sebayanya. Kalau tidak selesai, maka matilah mereka semua dengan nilai mati dari dosen yang mematikan. Seandainya dalam tugas ini hanya dia seorang yang bertanggung jawab dan tidak main kelompok, maka mungkin tidak akan pernah hasilnya ada di tangan dosen itu.

“Mbak, bagian buku-buku teknik di mana ya?”

“Sebelah sana, Mas,” pekerja toko itu langsung menunjukkan.

Segera Wira memasuki zona buku-buku teknik dengan ekspresi fokus mencari salah satu judul buku. Dan beruntung sekali sekejap ia langsung menemukannya. Tanpa basa basi ia langsung menarik buku itu dari rak tempat asalnya. Tapi bruk entah apa yang terjadi dua buku lain ikut jatuh ketika ia menarik calon buku miliknya.

Wajah paniknya memudar. Tadinya ia takut terjadi sesuatu sehingga ia harus menggantinya. Tapi kini sudah tenang, hanya dua buku yang jatuh. Spontan saja ia mengambil kedua buku tersebut yang terkapar di lantai toko dan mengembalikannya ke rak semula.

Matanya terhenti pada satu titik ketika kedua buku itu masih ada di tangannya. Ia mencoba mengingat sesuatu. Pasti ada suatu hal yang pernah terjadi antara dia dan sosok manusia yang ia lihat di depannya. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah rak yang dimuati berbagai macam buku teknik.

Jika dilihat dari ekspresinya, ia masih mencoba mengingat sesuatu. Tapi kini sudut-sudut bibirnya memanjang sedikit. Mungkin ia sudah tidak mencoba mencari tahu siapa dia yang berdiri di depannya, tapi ia kini mencoba mengingat seluruh memori yang ada yang pernah terjadi antara dirinya dan dia yang sedang serius membaca sinopsis sebuah buku di depannya. Baginya dia yang ada didepannya itu masih saja tak berubah. Selalu serius apabila sedang membaca buku. Buku apa saja!

Sesungguhnya kali ini ia berharap gadis itu melihatnya sekarang juga. Dan berkata, “hei, sudah lama kita tak bertemu, apa kabar?”. Tapi mungkin itu mustahil, melihatnya sedang berdua dengan buku kemungkinan mustahil akan lebih besar. Kalau saja gadis itu tahu kalau jantungnya masih saja berdisko jika mereka bertemu, dan sekujur tubuhnya menjadi lebih ringan jika mata mereka saling tatap, dan ia akan menjadi gugup kalau senyuman dan tawa gadis itu dipersembahkan untuknya. Akhirnya dirinya tak tahu harus apa. Sudah sejak lama sekali hal itu mulai terjadi.

Sekarang gadis itu akan mengembalikan buku yang baru saja diambilnya. Ia tak tertarik dengan buku itu. Tapi belum sempat buku itu kembali ke rumahnya, kedua mata gadis itu berhenti pada satu titik, cukup lama. Lalu ia memejamkan matanya, berusaha mengingat sesuatu. Ia yakin, pasti ada suatu hal yang pernah terjadi antara dia dan sosok manusia yang ia lihat di depannya. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah rak yang dimuati berbagai macam buku teknik.

“Wira Putra Mahareno, kamu Wira kan?” tanya gadis itu sambil tersenyum, merasa menang telah menemukan memori yang cukup lama tersimpan. Dan lagi-lagi senyuman itu, entah memang dipancarkan untuk Wira atau tidak Wira tak tahu pasti. Tapi yang jelas ia mulai gugup sekarang.

“Iya,” jawab Wira dengan sudut-sudut bibirnya yang makin memanjang saja.

“Ya ampun, kamu dari tadi di sana?” tanya gadis itu lagi. Tapi tiba-tiba gadis itu pindah dari tempat ia berdiri semula. Sungguh, Wira tak mau kehilangannya secepat itu. Maka ia mencoba menyusulnya. Tapi belum sempat ia berlari mengejar gadis itu seperti apa yang dibayangkannya, mereka sudah bertemu persis di sebelah pojok rak yang menghalangi mereka tadi. Rupanya keduanya hanya ingin menghilangkan batas yang ada diantara mereka.

“Iya, dari tadi aku lihat kamu baca,” jawab Wira setelah mereka bertemu. Wajahnya berseri-seri. Gadis pemilik rambut sebahu di depannya hanya tertawa. Sekali lagi, tawanya tambah membuatnya gugup.

“Kamu kenapa nggak nyapa sih? Untung saja aku lihat kamu, kalau nggak kita mungkin nggak akan saling sapa,” kata gadis itu.

Benar rupanya, mungkin rasa yang sejak bertahun-tahun lamanya itu masih ada. Wira sudah hilang arah. Ia tak tahu sekarang harus apa kecuali mempertahankan senyumnya.

“Eh, lho, Wir, buku yang kamu cari ternyata sama seperti yang aku cari,” gadis itu menunjuk ke arah tangan kanan Wira yang memegang dua buku.

“Eh, oh, bukan kok, ini tadi cuma jatuh, belum sempat aku kembalikan lagi. Ambil aja,” Wira menyerahkan buku itu. Segera gadis di depannya mengambil buku tersebut sambil tersenyum, bahagia telah mendapatkan apa yang ia cari.

“Wir, mampir dulu ke cafe sebelah yuk! Kita ngobrol-ngobrol, sudah lama juga kita nggak ketemu,” tawar gadis itu ketika mereka sampai di kasir. Wira menerima tawaran itu.

***

“Jadi kamu sekarang jadi anak teknik nih?” tanya gadis yang berjalan santai di sampingnya. Ia tahu pertanyaan tadi adalah salah satu kalimat basa-basi supaya suasana tidak garing. Ia sungguh mengerti kalau dirinya ini sulit diajak mengobrol. Itu bukan hobinya. Tapi gadis setinggi bahunya itu tetap saja senyam-senyum, tertawa haha-hihi, bercerita panjang lebar tentang dirinya selama mereka tak bertemu lagi, juga menanyakan beberapa pertanyaan yang saat itu pula dijawab singkat oleh Wira. Ia selalu terlihat nyaman di samping semua orang.

“Kamu sendiri juga, kan?” tanya  Wira.

“Ih, sotoy deh!” tanggap gadis itu sambil menyeringai, “aku tadi cuma melaksanakan amanat dari teman. Katanya kalau aku ke daerah sini tolong mampir, makanya aku tadi mampir. Aku sendiri anak bahasa,” kedua mata mereka kemudian saling tatap setelah pertanyaan terakhir terjawab dengan lengkap. Sekali lagi, dia, Wira, masih saja merasa sekujur tubuhnya menjadi lebih ringan. Saat itu juga. Lalu hening sesaat.

“Oh, em, pantas saja kamu makin lancar berceritanya,” kalimat Wira sukses mengusaikan perdamaian dalam hatinya. Bukannya dia tak senang jika dalam situasi seperti ini, tapi dia tak ingin begitu cepat kembali dalam masa lalu.

“Hahaha.. kamu ini bisa aja!” tanggap gadis itu singkat saja.

***

“Rencana bakal selesai kuliah kapan nih?” pertanyaan pertama dari Wira setelah mereka memesan kopi terucap.

“Em, mungkin tiga tahun. Hahaha.. berkhayal banget! Ya do’ain aja ya? Terus habis itu aku juga mau menerbitkan buku pertamaku. Oh iya, kamu belum tahu kan? Jadi dulu, waktu masa-masa kita sekolah nih, aku punya proyek masa depan. Apa proyek itu? Aku mau menerbitkan buku pertamaku, ceritanya klasik sih…..”

Terus saja gadis di depannya bercerita. Sesekali pandangannya jauh memandang ke depan dan ke atas. Wira juga tak tahu apa yang sebenarnya yang dilihatnya dibalik dinding di depan dan atap-atap di atas. Tapi yang ia tahu sepasang mata yang sesekali juga memandangnya itu begitu berkaca-kaca. Bukannya menahan tangis, bukan! Ia tahu cermin yang ada di sepasang mata itu bukan tanda-tanda akan menangis. Cermin mata itu menggambarkan apa yang sedang diceritakan untuknya. Ya, untuknya! Dan satu lagi yang ia tahu, ia merasa senang melihat dan mendengar cerita tersebut. Cerita yang memang ditujukan untuknya.

 

Pernah suatu hari ketika mereka masih dalam masa-masa selalu bertemu setiap Senin-Sabtu enam hari seminggu, Wira bertanya kepada kawannya, “Ji, kamu kalau ketemu Mira gimana? Seneng?” begitu tanyanya kepada Aji, yang saat itu diberitakan menyimpan rasa kepada gadis kelas sebelah.

“Senang? Nggak juga sih,” jawab Aji.

“Terus, kenapa kamu ngakunya naksir Mira?” tanya Wira lagi.

“Aku grogi kalau ketemu dia. Dia emang nggak cantik, biasa, nggak pintar, biasa juga, tapi nggak tahu deh kenapa aku nggak bisa gerak aja kalau di depannya. Semuanya dingin Wir,” jelasnya.

Awalnya Wira menganggap perasaan Aji tak lebih dari monyet biasa. Tapi siapa kira empat minggu yang lalu atau sebulan kira-kira mereka sudah menjadi pasangan yang diharapkan abadi di dunia setelah tiga tahun lamanya lulus sekolah menengah atas.

“Yang benar? Aji sama Mira akhirnya jadi?” gadis di depannya kini membelalakkan matanya. Terkejut sekaligus ingin memastikan. Senyumnya mengembang ketika ia melihat kawan pria lamanya itu mengangguk. Dia sedikit tertawa senang.

“Wah, jangan-jangan kita juga kayak gitu ya?” kalimat terakhir yang muncul diantara mereka membuat Wira tersentak. Tak dikira ia mengatakan hal itu. Bingung pun mengisi seluruh pikirannya kini. Harus bicara apa dia untuk melengkapinya? ─ kopi pesanan mereka datang.

“Iya, mungkin kamu bakal jadi juga sama yang kamu taksir dulu, aku juga begitu,” tanggap gadis itu. Syukurlah pikiran manusia lama di depannya bisa diajak kompromi dengan hatinya. Kini tatapan gadis itu memandang entah kemana. Tak seperti Wira yang saat itu juga justru memandanginya yang sedang menerawang jauh entah kemana itu.

“Eh, tapi Wir, ngaku ya,” tatapan dan senyuman sinis tiba-tiba tertuju pada Wira, perasaannya gelisah, “kamu dulu sempet naksir sama siapa?” gadis itu melengkapi pertanyaannya. Diam yang hanya bisa dilakukan Wira.

“Em, harus dijawab ya?”

“Iya lah! Nanti aku juga kasih tahu kamu deh!”

***

“Emang kenapa Wir?” tanya Aji tepat setelah Wira menanyakan perasaan pribadi Aji. Namun Wira tak menjawab, dan hanya menggeleng tanda ia menjawab tidak apa-apa.

“Alah, kasih tahu aja, siapa orangnya?” tanya Aji lagi. Rupanya ia tahu kalau Wira merasakan perasaan aneh terhadap seorang gadis. Tapi tetap saja, sekali lagi Wira tak mau menjawab.

“Dian ya? Andian Kumala kan? Sekelas?” tebak Aji. Sepertinya Wira tak punya pilihan lain. Takutnya kalau dia tak menjawab, Aji akan mencari kawan lain untuk mencari tahu. Dan akhirnya Wira mengangguk. Secepat kilat tak lama setelah ia mengangguk itu, tangan Aji digenggamnya kuat-kuat. Itu tanda, jangan bilang siapa-siapa.

Aji menepuk tangan Wira dua kali sambil mengangguk, “kamu bisa percaya.”

***

Kini Wira masih dalam kebingungannya, harus jawab apa dia? Akankah gadis di depannya akan senang mendengar kenyataan ini, bahwa dirinya adalah orangnya. Atau justru dia akan marah lalu minggat dari tempat ia duduk sekarang. Minggat entah kemana, tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya sembari tubuhnya keluar dari cafe itu dan mereka tak akan pernah bisa bertemu lagi. mungkin bisa jika hanya kebetulan.

 

***

“An, kita udah lama kenal. Walaupun nggak sedekat itu, tapi setidaknya kita sudah mengetahui karakter satu sama lain,” bujuk Fia kepada Dian yang sendari tadi gelisah sejak mereka memulai jalan setapak di malam hari. Saat itu malam cukup cerah, jadi mereka putuskan untuk bertemu. Entah mengapa harus mereka berdua yang sebenarnya tak begitu dekat sehari-harinya.

Fia menatap sepasang mata milik Dian. Hal itu membuat langkah mereka berhenti di tengah perjalanan. Ada sesuatu yang sebenarnya mau disampaikan kepadanya, malam itu juga! Itu sebabnya Dian mengajak menikmati malam bersama.

“Aku tahu hati kamu jatuh pada siapa,” kata Fia setelah beberapa saat menatap dua cermin alami di depannya. Tak terasa pipi Dian tiba-tiba basah. Mungkin itu hujan, pikirnya sesaat. Tapi bukan, dia menangis!

“Apa ada yang tidak beres dengan semua ini?” tanya Fia setengah terkejut ketika ia tahu apa yang terjadi pada kawan sebrang kelasnya saat itu juga. Tapi Dian masih saja bungkam. Kesannya ia ingin Fia membaca sendiri lagi apa yang ingin dikatakannya dengan bungkam.

“Aku bukan peramal atau mentalis An. Ada saatnya kamu harus cerita, nggak cuma membisu seperti ini, An kamu…” kalimat Fia tersendat sedikit. Ia seperti telah menemukan jawabannya. Kemudian dipeluknya gadis di depannya itu, sementara yang dipeluknya itu menangis makin parah saja hingga sesenggukkan. Dian merasa inilah namanya kawan. Pelukan ini, ia baru merasakannya.

Tiga puluh menit usai suasana haru itu, mereka berdua mulai berhias tawa. Entah mengapa mereka jalan sampai sejauh ini. sekitar delapan kilometer sudah mereka tempuh dalam waktu yang tak terasa memang lumayan lama. Mereka terlalu nyaman berada di zona baru mereka.

Fia yang dikenal selalu ngebos di kelasnya ternyata punya banyak kisah yang unik untuk diulik. Sementara Dian yang dikenal kadang diam kadang bibirnya beranak pinak juga punya banyak kisah yang memang mayoritas adalah cerita yang selalu disimpannya sendiri. Sebenarnya bukan ia tak ingin menceritakan kepada siapapun, tapi sampai saat ini (kecuali Fia) tak ada yang mau menghiraukan dengan serius segala macam kisahnya itu.

Tawa mereka terhenti ketika empat mata mereka mendapati sesuatu di depan pandangannya. Tepat di depannya, dua sosok manusia duduk di kursi panjang yang memang tersedia di sana. Dua sosok itu terlihat bahagia. Di malam cerah seperti ini, mungkin bisa ditebak mengapa dua makhluk manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan hanya berdua.

Mata Dian menatap ke bawah. Tanda suatu penyesalan. Sementara itu Fia hanya mengelus pundaknya, “ada yang lebih baik An.”

 

***

Bersamaan dengan kebingungannya, telepon genggam Wira berdering sementara gadis di depannya mulai mengucir ribuan helai rambutnya. Air mukanya jelas sekali ia tampak begitu bosan. Cukup lama ia menunggu kawan yang kini sudah tak bisa dikata bocah lagi sibuk dengan rekan teleponnya di sebrang.

“An, ini udah jam dua lebih lima belas. Sebenarnya hari ini aku ada janji. Kita ngobrol lagi lain waktu gimana?” jelas Wira usai mengakhiri perbincangannya di telepon. Ekspresi Dian berubah menjadi kecewa. Dari bosan menjadi kecewa.

Sungguh, jika harus memilih jelas saja Wira tetap ingin di sini bersama manusia lama di hadapannya itu. Tapi Reza yang baru saja meneleponnya sudah mengamuk. Mahasiswa-mahasiswi lain sudah berkumpul semua katanya. Terpaksa ia harus membuat Dian menyesal detik itu.

“Ya sudah lah. Tapi Wir, ini kartu namaku. Setelah selesai urusanmu, tolong sms ya?” pinta Dian. Kali ini suaranya terdengar lebih ceria. Mau diprediksi apapun, gadis ini ujung-ujungnya juga akan terlihat ceria. Tapi tidak tahu dengan hatinya.

Wira menerima kartu nama itu. Tak banyak embel-embel. Hanya kartu putih seukuran dengan telepon genggamnya bertuliskan Andian Kumala dan beberapa angka yang menunjukkan nomor yang bisa dihubungi. Tak ketinggalan alamat tertera jelas di kartu itu. Wira berusaha mengingat di mana tempat yang tertulis di kartu itu. Tak lama dia mengangguk-angguk tanda tahu jelas di mana ia bisa menemukan Dian.

“Oke An, ketemu lain waktu ya, sori,” pamit Wira. dian hanya mengacungkan jempol pertanda tidak apa-apa.

 

 

Seketika ia memalingkan pandangannya dari layar handphone-nya. Terkujut ia setelah sepotong cake coklat diletakkan di atas mejanya.

“Dari pacar kakak. Tadi saya dipesankan untuk memberikan ini,” jelas pelayan gadis yang tersenyum ramah.

“Pacar? Perasaan saya nggak ada pacar,” Dian mencoba menyangkal.

“Tadi, yang bersama kakak di sini. Dia pergi lebih dulu,” pelayan itu memperjelas. Kali ini mukanya sedikit ragu. Takut salah.

“Oh, Wira. Itu teman saya, Mbak. Makasih ya?” Dian tersenyum. Itu kebiasaannya.

Coklat. Tahu saja Wira jika kawan lamanya itu sangat suka dengan coklat. Meski ia tak bisa memakannya tiap hari karena ia tahu itu juga tidak baik. Tapi disegala ketidakbaikannya itu, coklat justru menyimpan kebaikan tersendiri. Ini memang sulit dimengerti. Sama halnya mengapa NaCl dari bahan yang sangat berbahaya bisa menjadi tidak berbahaya.

Cake itu benar-benar dipenuhi dengan coklat. Kelihatannya begitu lezat. Ditambah dengan sentuhan manis bendera mini yang ditusukkan diatasnya. Bendera itu tak berwarna, putih maksudnya. Tapi karena warna putih itulah membuat sepotong santapan lezat itu makin terlihat cantik. Seperti ingin melengkapi hal-hal yang tidak dimiliki cake itu, warna putih.

Dian melepas hiasan bendera itu. Ingin sekali ia segera memakannya. Setelah lama tak bertemu, baik sekali Wira langsung memberinya cake coklat itu. Entah ini bagaikan ucapan selamat bertemu kembali atau menyesali karena dia buru-buru meninggalkan gadis itu sendiri. Tapi yang jelas Dian berniat akan membalas cake ini suatu hari nanti. Dan pada akhirnya satu santapan cake coklat sukses masuk dalam mulut Dian.

Menatap bendera itu sejenak, seakan Dian juga ingin menyantapnya. Tidak, tentu saja bendera itu tak dapat dimakan. Itu hanya sepotong kertas HVS putih. Bukan, bukan selembar, tapi dua. Oh tidak, itu tiga, empat. Jari-jari Dian kini sibuk menghitung helai bendera mini itu. Ya, sebenarnya itu cukup terlihat terlalu tebal untuk sebuah bendera.

Ia meletakkan sendok mungilnya dan menarik empat helai bendera mainan dari tiangnya, tusuk gigi. Itu, bendera itu ternyata dari kertas yang memang dilipat jadi empat. Ada sesuatu yang mengganjal dihatinya. Ia makin yakin setelah ia menemukan coretan tinta yang terselip diantara helaian bendera itu. Spontan saja ia langsung membukanya. Mungkin ini suatu pesan, batinnya.

Itu kamu. Kamu orangnya.

Benar. Ini pesan. Atau lebih tepatnya adalah jawaban.

 

*

Wira membalik badannya. Tepat searah dengan gadis tadi duduk. Sayang sekali ia hanya bisa melihat rambutnya yang baru saja tadi diikatnya. Gadis itu menghadap searah dengan Wira, menghadap dinding berukir manis. Dan kini dilihatnya gadis itu mengeluarkan handphone-nya. Rupaya dia sudah mulai bosan dengan kesendiriannya.

“Mbak, mbak,” Wira menghentikan langkah pelayan wanita yang akan mengantarkan pesanan. Kemudian didekatkannya mulutnya dengan telinga pelayan itu. Wanita yang mungkin berusia tak jauh dari dirinya itu mengangguk-angguk tanda mengerti. Dikeluarkannya bolpoin dari saku kemejanya.

Aku memang meninggalkanmu sendiri. Tapi aku tidak akan meninggalkan pertanyaanmu tanpa jawaban.

Wira segera pergi.

 

 

Ingin rasanya Dian menangis. Melihat mereka berdua berbincang akrab setelah tawa keduanya mereda. Fia yang masih di sampingnya berusaha untuk menenangkannya. Ia tak mau malam cerah bersama sahabat barunya itu rusak hanya karena pemandangan seperti ini. Meski ia tahu pastinya ini menyayat hati kawannya itu.

“An, kurasa mereka sama seperti kita. Gadis itu hanya mau mendengarkan cerita Wira, sama seperti aku yang mendengarkanmu malam ini,” Fia berpendapat. (Manik)

Saya bingun mau ngasih judul apa

Dunia yang ramai tiba-tiba sunyi, ketika tersadar kini ternyata Ia sendiri. Lalu, Ia tertawa menertawakan kesendirian itu.

***

Mentari masih mengambang ragu, sepenggalah tingginya. Udara masih suam-suam kuku, malu untuk memanas namun enggan terus menerus beku. Diluar, tetes-tetes air tercipta dari halimun yang menyelimuti ibu pertiwi dipagi hari. Angin membelai pinus di daratan tinggi Dieng, air kembali menetes melalui jalur-jalur daun keujung tepi.

Rumah diujung gang terbuka sedikit pintunya. Hembusan terkadang menyibak tirai yang masih tertutup rapat. Semilirnya semakin membekukan nuansa didalam rumah. Sang bayu menerobos ruang tamu, menampar kesadaran Zaenuri dari lamunannya yang dalam. Dirabanya bungkusan putih. Terasa bulir-bulir kecil membekas di telapaknya, rasa itu membuncahkan asa yang sekian lama terpendam derita. Al-fatihah terus dirapalkan, tak henti sembari menerawang gerbang yang tampak dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Waktu tampaknya lama. Atau, adrenalin yang memompa jantungnya terlalu cepat untuk merasakan detik-detik berjalan di jam dinding kamar tamu. Gemuruh riuh tercipta dari detak jantungnya. Masih ditatapnya Gerbang di ujung pandang. Sembari meratapi kesendiriannya.

Pada dasarnya manusia adalah sendiri. Ia dilahirkan dalam kesendirian. Ia menangis sendiri. Meratap sendiri. Meratap perlahan setelah ingatannya tentang kehidupan sebelumnya, tentang tuhannya, tentang perjanjian abadinya, tentang halimun-halimun suci di ruang tunggu dunia luntur setelah dibaliknya Ia. Manusia menangis sejadi-jadinya disaat sekitarnya terawa. Menangis, meraung, bergemuruh sendu nan rindu ketika sepercik demi sepercik ingatannya memudar, hilang, terbang menjadi bukan apa-apa.

Zaenuri paham benar arti kesendirian itu. Walaupun, tak lekat jua ingatannya ketika Ia sendiri menangis di ruang persalinan, namun kesadaran atas kesendiriannya terbentang di setiap jejak langkah hidupnya. Ia sendiri ketika ia berdiri diluar kelas kerana terlambat. Gurunya tak mau memahami benar bahwa semalam ia tidak mampu tertidur pulas ketika sebuah gelas terbang melintas ruang makan, membentur dinding kamarnya, Ibunya menangis, Ayahnya lalu keluar, pintu menghentak keras dan ia ditampar ketika bertanya pada ibunya kenapa ia menangis. Ia sendiri di malam itu, tiada tahu harus berkata apa, berbalik badan di tiap menit kebekuan malam. Tak sadar airmatanya meleleh membasahi bantalnya. Ia sendiri.

Zaenuri sendiri tatkala Ia pertama kali menginjakkan kakinya di Ibukota. Ia hanya mampu memandang orang yang lalu-lalang di Manggarai. Manusia bersliweran berjalan tergesa-gesa seakan waktu akan menelan mereka bulat-bulat. Kerumunan orang bergerak naik dan turun commuter line, berjalan berkelompok tak putus-putus. Mereka berlari, mengejar sesuatu yang tak nampak di mata mereka, mengejar sesuatu yang semakin jauh berlari ketika mereka berlari memburu suatu yang tidak mereka ketahui secara pasti.  Zaenuri tercengang oleh banyaknya orang yang berlari, membelalak, berteriak, menabrak tanpa mengacuhkan sekitar mereka. Maklik-mahluk itu memang membuka matanya, namun zaenuri melihat bahwa mereka buta, tiada melihat sekitarnya, tiada melihat dalam diri mereka, tiada melihat semesta, mereka hanya melihat pikiran mereka seakan ilusi itu nyata. Dalam kenyataan itu zaenuri tersadar, dirinya seperti bayi yang pertama kali membuka matanya untuk memandang dunia. Ia menangis seperti bayi, merasa diseret nasib untuk menyeupkan diri dalam dunia yang benar-benar baru, yang tidak pernah ia Tahu1. Sekali lagi Ia sendiri.

Ketika telah berkeluargapun Zaenuri masih sendiri. Ia berangkat pagi-pagi untuk sekedar selembar kertas berwarna merah muda. Adzan subuhpun belum benar-benar paripurna dikumandangkan muadzin dari masjid di ujung gang, namun ia telah mengeluarkan mobilnya dan menembus rimba Jakarta. Ia sibakkan Letih, ia letakan perih, Ia menjadi manusia Jakarta seutuhnya, tanpa berpikir, tanpa merasa, yang ada hanya tergesa. Efisiensi menjadi tidak efisien kembali karena sehari-hari yang ada hanya berfikir mencari riba duniawi. Ia sadar dirinya kosong tanpa pernah memberikan arti bagi buah hati. Tiada apa yang ia tinggal dirumah karena ketika ia sampai di rumah, keluarganya telah terlelap dibelai mimpi. Jam 1 malam ia sendiri, mandi, lalu gosok gigi, tak lama kemudian merebahkan diri, menyisakan penat yang dalam, tertimbun rutinitas sehari-hari.

Namun, Sekaranglah ia benar-benar merasa sendiri. Keluarganya pergi, Istrinya kini telah bersuami. Ia sendiri menanggung beban 6 Miliyar, dengan ancaman dibunuh atau bunuh diri. Dunia memang berputar, selalu saja berputar, tidak pernah berhenti berputar. Setelah sukses di Jakarta, menumpuk harta yang katanya untuk keluarga, Ia merasakan semesta kini mengambilnya. Tidak hanya harta yang diambilnya, teman-teman dan keluarganya kini pada menepi meninggalkan ia sendiri. Siapa yang mau dekat dengan seseorang yang bangkrut dan diancam mati? Di dunia sekarang ini tak ada untungnya bergaul dengan orang seperti ini! Tidak menguntungkan sama sekali!

Berbagai cara telah dilakukan Zaenuri untuk bisa menyelesaikan permasalahannya ini. Konsultan bisnis telah didatanginya, namun itu tak ada artinya, karena Zaenuri sudah tak ada uangnya. Konsultan itu lembaga bisnis bukan lembaga kemanusiaan. Ia melihat Zaenuri sebagai aset bukan sebagai manusia sehingga ketika ia tidak ada apa-apanya buat apa ia mempertahankan aset itu? Dukun tak lupa ia sambangi. Mandi di pertemuan dua sungai, malam purnama, bulan Suro terlebih lagi jum’at kliwon sudah ia coba. Nol besar hasilnya. Hingga suatu saat ia mengetahui seorang guru agama di tetangga desanya di Dieng, Tanah kelahirannya. Ia datangi guru agama yang sering dipanggil Kyai Zaenuri itu, sama seperti namanya.

***

Rumah Kyai itu tak besar. Zaenuri menunggu 2 jam dirumah itu, karena sang Kyai sedang mencari rumput di tepi hutan untuk makan ternaknya. Sederhana benar Kyai itu, pikir Zaenuri. Ruang tamunya hanya bale-bale dengan anyaman bambu menjadi alasnya. Meja kecil menghiasi ruangan itu, terletak segelas teh, teko untuk mengisi ulang teh itu serta beberapa makanan ringan. Semua itu disiapkan untuk dirinya. Zaenuri agak tak enak hati juga karena merepotkan tuan rumah. Ia memang agak memaksa untuk menunggu Kyai Zaenuri. Mau bagaimana lagi, ia sudah tak tahu lagi harus bagaimana. Dirinya kini bergantung kepada Kyai itu untuk bisa menyelesaikan masalahnya.

Selepas dzuhur, Zaenuri akhirnya bisa bertemu Kyai Zaenuri. Sembari menghisap rokok kretek, Kyai itu mendengar keluh kesah dari Zaenuri. Diceritakannya segala macam yang menjadi kesusahan hatinya. Tentang hutangnya, tentang ancaman matinya, tentang keluarga dan teman-temannya yang menepi, tentang kesendiriannya, tentang anaknya, tentang istrinya yang sudah bersuami lagi, semua hingga tandas tak bersisa. Namun, bukannya kosong dan lega yang dirasakan Zaenuri, yang ada hanya akumulasi emosi.

Kyai Zaenuri tersenyum “Sudah ceritanya?”

“Sudah Kyai” Zaenuri menimbali.

“Sekarang apa yang kamu cari? Kenapa tidak kamu lepaskan saja semua, menjalani apa adanya dan hadapi?”

“Saya sudah gak kuat lagi Kyai, Saya Cuma minta hutang saya lunas dan saya tidak dibunuh oleh para debt collector. Saya sudah letih setiap hari berlari dari para debt collector lari sana, sembunyi sini. Hidup saya tidak tenang Kyai, saya ingin senang, saya ingin bisa tertawa sebebas-bebasnya tidak seperti saat ini, cemas, takut, kecut! Cuma itu Kyai! Cuma itu! Yang lain saya iklashkan!”

“Hmm…” Kyai menimbali sembari meraba janggutnya yang mulai memutih.

“Kok Hmm… Kyai? Bisa tidak?” timpal Zaenuri seakan memaksa. Ia sedikit kecewa datang ke rumah Kyai itu. Waktu ia datang ke Dukun, tanggapannya lebih amtusias, jawabannya lebih meyakinkan, persyaratannya lebih nyata. Saat ini ia hanya melihat sang Kyai mendengarkan tanpa antusias sama sekali, sembari manggut-manggut, terkadang menghisap rokok kretek dalam-dalam.

Kyai Zaenuri menerawang, lalu “besok kesini lagi, akan saya beri pegangan dan doa-doa” sembari berdiri dan mempersilahkan Zaenuri untuk pergi.

***

Ternyata saratnya mudah. Ia hanya perlu menggenggam bungkusan putih dan membaca Al-fatihah, lalu bertemu dengan para debt collector ketika mereka datang menagih hutang itu. Pagi ini, saat udara suam-suam kuku, Zaenuri sudah bersiap di Ruang tamu sembari menggenggam bungkusan putih dan membaca Al-fatihah. Dipandangnya gerbang, mulai tampak pria-pria bertubuh kekar berjalan memasuki halaman rumahnya.

Tanpa mengetuk pintu, pria-pria itu masuk dan menatap Zaenuri dengan garang.

“Sudah kamu siapkan uangnya? Heh?”  Tanya seorang diantara mereka.

Zaenuri diam saja. Ia teringat pesan Kyai Zaenuri untuk tidak berbicara selama pertemuan itu. Ia cukup menggenggam bungkusan dan membaca Al-fatihah. Hanya itu!

“Bajingan!” Hardik pria yang lainnya

“Kamu ditanya goblok!”

Zaenuri masih diam sembari komat-kamit. Gerakan bibirnya tampak jelas

Salah seorang dari pria-pria itu maju, menyambar kerah bajunya. Dihentakkan tubuh Zaenuri ke tembok ruang tamu, pria itu menatap mata Zaenuri.

“Bisa bayar atau nggak? Jangan mempermainkan kami ya, kamu! Yang menyuruh datang kamu sendiri tahu!”

Zaenuri berpegang teguh dengan Syarat-syarat yang diajukan sang Kyai. Digenggam bungkusan lebih erat, bacaan Al-fatihan semakin cepat. Mulutnya semakin tampak komat-kamit. Pria yang menggenggam kerah bajunya tak sengaja menangkap gerakan bibir itu.

“Oh… Kamu memantrai kami!” tak lama kemudian sekepal genggaman tangan melayang ke rahang kirinya. Zaenuri tersungkur. Bos para debt collector itu maju berjongkok di depan Zaenuri. Ia tersenyum.

“Tak ada gunanya memantrai kami mas, dukun kami lebih sakti! Sarat apa yang diajukan dukunmu? Ha!”

Zaenuri masih percaya kepada kharomah Kyai Zaenuri. Ia tetap menggenggam bungkusan. Dirapalkan Al fatihah semakin cepat.

“Hajar!” ucap si Bos sembari berdiri dan duduk di Kursi yang tadi di duduki oleh Zaenuri. 4-5 orang mulai melayangkan tangan dan kakinya. Mereka tampak emosi seakan-akan uang tagihan itu milik mereka sendiri, bukan milik bank dan para rentenir. Mereka hanya kecipratan 500.000 per orang sekali datang. Nyatanya uang memang telah menutup logika.

Kaki dan tangan para debt collector itu menemui badan Zaenuri. Terkadang kepala, terkadang tangan yang menutupi kepala, terkadang kaki, apapun yang menjadi bagian tubuh Zaenuri. Meja dan kursipun terkadang tak sengaja ikut menjadi pelampiasan para debt collector itu. Hujanan pukulan dan tendangan, tak lupa caci maki semakin melemahkan Zaenuri. Tak lama kemudian bungkusan yang digenggamnya terjatuh.

Bos debt collectorpun melihat bungkusan terjatuh. Diambilnya bungkusan itu, dirabanya, terasa bulatan-bulatan kecil mengisi kain mori. Disuruhnya pria-pria itu berhenti.

“Stop… stop…”

Ia lalu berjongkok dihadapan Zaenuri.

“Ini jimatmu? Ha… Hahaha…” Ia bertanya sembari tertawa. Pertanyaan retorika memang. Dibuka bungkusan itu lalu ditumpahkan isinya di depan muka Zaenuri yang kini berlumuran darah.

“Hahahahaha……” Si bos tertawa semakin keras diikuti anak buah mereka.

“Kotoran Kambing!” dibantingnya bungkusan itu sembari berdiri dan berlalu pergi.

“Biarkan dia berfikir betapa bodohnya dia” ucap si Bos memimpin para debt collector keluar.

***

Adegan itu seperti gerakan lambat di mata Zaenuri. Satu persatu isi bungkusan itu meluncur perlahan, mengambang di udara, dan memantul pendek serta menggelinding di lantai. Lantai di depan mukanya. Tampak bulir-bulir kotoran kambing. Menggelinding.

Dunia yang ramai tiba-tiba sunyi, ketika tersadar kini ternyata Ia memang benar-benar sendiri. Lalu, Ia tertawa menertawakan kesendirian itu. Ia telah terbebas dari hutang, tidak dibunuh dan Ia bisa senang tertawa sebebas-bebasnya. Tawanya menggema di langit dan bumi. Kini ia selalu tertawa! Hahaha…

1 : Di Inspirasi dari Buku Perempuan di Titik Nol oleh Nawal el Saadawi

 

Oh iya. Saat ini jam 09.00 WIB. Kyai Zaenuri sedang merumput. Angin berembus. Suam-suam kuku. Angin itu membelai telinga Kyai Zaenuri. Kyai Zaenuri tersenyum mendengar kisah dari sang Bayu. Anak yang memiliki nama seperti namanya kini telah terbebas dari Hutang, tidak jadi dibunuh dan sudah bisa tertawa. Anak itu kini berada di kota, sedang tertawa sembari disebut orang gila.

Harta, Anak dan Agama

IMG-20151117-WA0005

Oleh: Agus Hari

          Pada tahun 10 H, sahabat nabi yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash sakit parah. Kemudian, Rasulullah SAW menjenguknya. Sa’ad merupakan orang kaya dan memiliki satu orang anak perempuan. Atas kecintaannya pada Islam, Sa’ad menanyakan kepada Rasulullah mengenai kondisinya. Sa’ad menanyakan, “bolehkah saya bersedekah 2/3 hartaku?” Pertanyaan Sa’ad ini tentu merujuk pada keinginannya agar harta yang dimiliki bermanfaat besar bagi ummat. Rasul menjawab, “jangan!”. Mengetahui Rasulllah melarang, Sa’ad kembali menanyakan, “bagaimana kalau setengah dari harta yang kumiliki?” Rasulullah kembali menjawab “Jangan!”. Sa’ad pun kembali menanyakan, “bagaimana kalau sepertiga?”Maka Rasulullah menjawab, “Boleh. Namun sepertiga itu sudah banyak. Sungguh seandainya meninggalkan keturunan dalam kondisi kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam kondisi yang meminta – mintapada orang lain.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan hartamu untuk mencari wajah Allah, kecuali engkau akan diberi pahala. Sampaipun yang engkau berikan untuk makan istrimu” (HR Bukhari, Muslim).

Kisah diatas sederhana, tapi maknanya besar bagi kita dalam memahami relasi harta, anak, dan islam. Harta yang kita miliki, tentu harus melalui proses dan cara yang halal. Setelah itu, kita tidak boleh mengabaikan keturunan dan agama sebagai bagian dari harta tersebut. Sebesar apapun cinta kita pada agama, kita tidak boleh melupakan keturunan. Begitupun ketika cinta kita pada keturunan sedemikian besar, kita tidak boleh melupakan kalau harta berpotensi menjadi “amal jariyah” alias amal yang tidak terputus.  Oleh karena itu, gambaran hadis diatas jelas, yaitu menginfakkan sepertiga dari harta yang dimiliki. Selebihnya, bisa diberikan pada anak dan istri.

Kisah diatas menemukan momentumnya saat ini, dimana orang tua dan anak seringkali “tabu” membicarakan harta. Ketabuan itu muncul (mungkin) dikarenakan kisah kekeluargaan yang terputus gara – gara berebut harta warisan. Dengan demikian, lebih baik tidak membicarakan soal harta. Sebagian sahabat saya seringkali berujar  kalau yang ingin diwariskan kepada anak adalah ilmu. Tolak ukurnya sederhana, yaitu mau sekolah setinggi apapun akan dibiayai, tapi soal harta biarlah dia mencari sendiri. Mungkin Anda akan sependapat dengan apa yang dikatakan beberapa sahabat saya tersebut. Tapi, apakah pandangan tersebut akan berubah setelah membaca hadis di atas? Wallahu a’lam.

Nyawa keanekaragaman hayati ada di sarapanmu! BeliYangBaik

Apa menu sarapan pagimu? Telur goreng? Roti tawar mentega dengan keju? Chips, biskuit dan makanan ringan? Mungkin white coffe atau coklat panas? Jika iya, bisa dikatakan nyawa keanekaragaman hayati telah masuk keperutmu! hutan hujan tropis beserta isinya telah engkau kunyah! Yup itu karena di sarapanmu terdapat turunan dari kelapa sawit yang areal pertanamannya merupakan kawasan hutan yang dikonversi menjadi kebun sawit.

Tak dapat dipungkiri bahwa olahan kelapa sawit yang berupa CPO tersebut memang meiliki manfat yang sangat banyak mulai digunakan sebagai bahan makanan hingga kosmetik. Sarapan yang telah dituliskan diawal memang mengandung produk yang merupakan turunan CPO. Sebut saja telur goreng dan roti tawar yang minyak dan menteganya berasal dari CPO. Creamer kopi, Vanaspati, Coathing, Whitening dan masih banyak lagi turunan CPO yang tersaji di meja sarapanmu. Namun, layakkah sarapanmu tersebut mengorbankan Keanekaragaman hayati salah satu hutan hujan tropis terbesar di Dunia?

Bila melihat data selama 10 tahun mulai tahun 2001 hingga 2010 tampak bahwa terdapat peningkatan laju perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang signifikan. Setidaknya perluasan areal perkebunan tersebut mencapai 92 % selama 10 tahun. Tentunya hal ini sangat menghawatirkan, karena perluasan perkebunan kelapa sawit tersebut dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan.

Indonesia sendiri dikenal sebagai paru-paru Dunia dimana terdapat salah satu hutan hujan tropis terbesar di Dunia. Didalam hutan hujan tropis tersebut tersimpan berbagai potensi keanekaragaman hayati. Tercatat bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki flora dan fauna  dengan tingkat endemik yang tertinggi di Dunia. Selain itu hutan-hutan Indonesia ditemukan lebih dari 400 spesies pohon yang bernilai ekonomis tinggi serta kira-kira 25.000 spesies tumbuhan berbunga. Indonesia menempati ranking pertama di dunia dalam kekayaan spesies mamalia (646 species, 356 endemik), ranking pertama untuk kupu-kupu berekor, total 121 spesies yang sudah teridentifikasi, 44% endemik. Ranking ketiga reptil(lebih dari 600 spesies), keempat untuk burung (1603 spesies, 28% endemik), kelima amphibi (270 spesies) dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.

Sayang, potensi keanekaragaman hayati ini terancam oleh, salah satunya, Perkebunan kelapa Sawit yang membuka kawasan hutan dengan membakarnya. Hal itu mengancam ekosistem dan habitat satwa liar seperti Harimau Sumatra, Gajah Sumatra, Orang utan kalimantan dan sumatra hingga Cendrawasih di Papua. Tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti Ramin yang habitatnya berada di Rawa dan Gambut juga terancam punah. Belum lagi Ulin, kayu super kuat yang memiliki nilai tradisi kuat di Sumatra dan Kalimantan kini mulai menipis. Bahkan, potensi anti kanker Calanoit A dan B yang terdapat pada Calophyllum lanigerum juga terancam hilang. Belum lagi zat-zat bioaktif lain yang belum sempat diteliti yang terdapat pada berbagai keanekaragaman hayati hutan akan tidak pernah ditemukan. Hal ini tentunya sangat menghawatirkan.

Lalu, apa yang bisa kita laukan untuk meminimalisir degradasi keanekaragaman hayati ini? Sejauh apa yang bisa kita lakukan? Tenang! Upaya kita sebagai konsumen, khususnya untuk meminimalisir degradasi keanekaragaman hayati adalah menjadi konsumen yang cerdas. Kita bisa meminimalisir memakan keanekaragaman hayati tersebut dengan memilih produk-produk yang memiliki logo RSPO (Rountable on Suistainable Palm Oil). RSPO merupakan usaha dari berbagai stakeholder mulai dari LSM, perusahaan perkebunan, perusahaan pengolahan hingga negara yang memproduksi atau menggunakan minyak kelapa sawit, untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan merupakan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. RSPO mengakomodasi pelestarian keanekaragaman hayati dengan adanya penerapan Areal HCV (High Conservation Value) di perkebunan kelapa sawit.

unduhan (1)

Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bersertifikat RSPO dituntut untuk memiliki area HCV sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem. Di dalam konsep HCV, terdapat 3 kaategori pelestarian yaitu 1). Keanekaragaman Hayati yang diwakili HCV 1-3 2). Jasa Lingkungan HCV 5 dan 3). Sosial dan Budaya HCV 5-6. Upaya pelestarian keanekaragaman hayati dilakukan dengan menerapkan areal HCV berupa HCV 1. Yang merupakan areal dengan konsentrasi nilai keanekaragaman tinggi, HCV 2. Merupakan kawasan dengan tingkat lanscape yang luas dimana terdapat populasi disana dan HCV 3. Merupakan areal yang memiliki ekosistem yang langka, terancam atau hampir punah. Dengan adanya konsep HCV ini, setidaknya Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO turut menjaga species yang terancam hampir punah, endemik dan refugia; areal yang menjadi habitat alami satwa ataupun tumbuhan dengan populasi alami yang cukup; dan ekosistem yang langka, terancam atau hampir punah.

Oleh sebab itu jangan lupa untuk selalu:

  1. Cari tahu asal produk yang kita konsumsi
  2. Cari produk berekolabel RSPO dan sertifikasi lestari lainnya
  3. Tetapkan komitmen untuk menggunakan Produk yang menerapkan konsep lestari
  4. Bergandengan tangan sesama konsumen untuk meminta produsen menyediakan produk yang berekolabel

Mulai sekarang,  mulailah memilih apa yang akan menjadi menu sarapan kita. Bukan sekedar sehat, namun apakah juga lestari? Jangan sampai Orang utan, Gajah Sumatra, Ulin, Ramin, Anti HIV, dan berbagai hal bermanfaat lainnya yang masih tersembunyi di keanekaragaman hutan hujan tropis indonsia musnah hanya karena sepiring sarapan pagi kita! Salam lestari! Dan jangan lupa #BeliYangBaik! (Diyo)

Referensi Tulisan

http://hana-snowdrop.blogspot.co.id/2013/08/food-applicationss-of-palm-oil-products.html

https://biologyrna.wordpress.com/2013/03/23/potensi-keankaragaman-hayati-indonesia/

http://www.beliyangbaik.org/
http://www.rspo.org/consumers/about-sustainable-palm-oil
http://www.wwf.or.id/?41042/Berikan-Orangutan-Kemerdekaan-dari-Kebun-Sawit-Tak-Lestari
http://www.wwf.or.id/?40922/Suka-Makan-Gorengan-vs-Pelestarian-Gajah
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/
http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/solutions/roundtable_on_sustainable_palm_oil/

Panduan Identifikasi: Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia

Pedoman Pelaksanaan Penilaian Nilai Konservasi  Tinggi: Sebuah petunjuk praktis bagi para praktisi dan penilai lapangan.

Sang Alkemis

“Jika kau mulai dengan menjanjikan apa yang belum kau miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk bekerja guna mendapatkannya.”

 

Novel karya Paulo Coelho ini adalah novel yang seharusnya dibaca oleh remaja dan orang tua. Dalam novel ini, kita akan menemukan berbagai hikmah dalam kehidupan, yang mungkin tiap pembaca mengambil secara berbeda dengan pembaca yang lain.

Saya sendiri menikmati kisah perjalanan dalam novel ini secara keseluruhan. Saya menikmati bagaimana kisah seorang bocah yang menggebu – gebu ingin mendapatkan cita – citanya, atau legenda pribadinya. Yang legenda pribadi tersebut harus dilalui dengan perjalanan panjang. Untuk menempuh perjalanan itu, sang bocah memilih pekerjaan sebagai penggembala. Baginya, bekerja sebagai penggembala akan membawanya ke sudut – sudut dunia. Dia menggembala dari satu kota ke kota yang lain. Kemudian, mencukur bulu domba untuk dijual, lalu melanjutkan perjalanan lagi. DI sela – sela perjalanan atau saat menggembala, sang bocah bisa memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Menurut saya, ini pekerjaan yang sangat menyenangkan!!

Kisah pun dilanjut dengan mimpi yang datang pada sang bocah. Dalam mimpi tersebut, dia diberi tahu kalau di Piramida ada harta karun. Mimpi itu datang berulang, seolah meyakinkan pemuda kalau dia akan mendapatkan harta tak ternilai jika berhasil menuju piramida. Dalam mimpinya, dia diberitahu secara detail dimana letak harta karun tersebut.

Dari mimpi yang hadir itulah perjalanan sang bocah dimulai. Dia menjual semua domba, kemudian mengejar mimpinya. Dalam perjalanan pengejaran legenda pribadi itu, dia menemui banyak rintangan dan pelajaran.

Dilihat dari kisahnya yang berakhir bahagia, tentu novel ini akan dianggap biasa. Tapi, jika kita merenung lebih banyak dari kisah perjalanan yang dilalui sang bocah untuk mencapai impiannya, kita akan mendapati banyak hikmah.

Karena banyak kisah yang menginspirasi, saya akan memberikan satu bagian dari perjalanan sang bocah menuju piramida. Dia, begitu tiba di Arab bekerja kepada penjual kristal. Saking sepinya toko kristal, sang bocah hanya akan dibayar jika kristal laku terjual. Dia mendapatkan bagian dari penjualan tersebut. Tapi, sang bocah tidak kehabisan akal. Selain membuat kristal makin mengkilap, dia juga membuat inovasi seperti membuat lemari pajangan. Bagi pemilik toko, membuat lemari pajangan akan menjadi persoalan serius jika gagal, karena mereka hanya punya “sedikit” dana. Artinya, mereka mempertaruhkan sedikit dana tersebut demi ide sang bocah. Yang jika gagal, pupuslah dana yang mereka miliki.

Tapi, sebagaimana saya katakan diatas kalau cerita ini datar, mereka berhasil menjual kristal – kristal lebih banyak dari sebelumnya. Bahkan, mereka pun menuju pada inovasi yang jauh lebih tinggi lagi yaitu membuat teh rasa jahe yang disajikan dengan gelas kristal dan dijual di puncak gunung. Keberhasilan bisnis kristal ini hampir saja membunuh cita – cita sang bocah untuk ke Piramida. Tapi, pada akhirnya dia memilih untuk melanjutkan perjalanan.

Dari novel ini, yang membuat saya terus membaca tanpa henti bukanlah kisah sang bocah, tetapi cerita hikmah apa saja yang diberikan. Kalau menilik kisah perjalanan, bagi saya kisah ini tidak begitu berliku, jadi memang tidak sulit ditebak. Tapi, novel ini memberi banyak kisah hikmah yang dibalut dalam cerita keseharian.

Akhirnya, saya akan menutup resensi saya dengan mengutip satu bagian yang paling berkesan bagi saya, yang mungkin bagian ini tidak berkesan bagi Anda. Karena mungkin saya mulai tua, maka dialog Ayah dan Anak ini menjadi bagian paling menarik bagi saya. Disanalah awal mula sang bocah, namanya Santiago, memulai perjalanan besarnya.

“ORANG-ORANG DARI SELURUH DUNIA PERNAH MELEWATI desa ini, Nak,” kata ayahnya. “Mereka datang untuk mencari hal-hal baru, tapi begitu mereka pergi sebenarnya mereka sama saja dengan saat mereka datang. Mereka mendaki gunung untuk melihat kastil itu, dan mereka akhirnya menyimpulkan bahwa masa silam lebih baik daripada yang kita alami sekarang ini. Mereka berambut pirang, atau berkulit gelap, tapi pada dasarnya mereka sama seperti orang-orang yang tinggal di sini.”

“Tapi aku ingin melihat kastil-kastil di kota-kota tempat tinggal mereka,” si bocah menjelaskan.

“Orang-orang itu, saat mereka melihat negeri kita, pun berkata ingin tinggal di

sini selamanya,” lanjut ayahnya.

“Kalau begitu, aku ingin melihat negeri mereka dan melihat bagaimana kehidupan mereka,” kata anaknya.

“Orang-orang yang datang ke sini itu uangnya banyak, jadi mereka mampu berkelana,” kata ayahnya. “Di kalangan kita, yang berkelana hanya para gembala.”

“Kalau begitu, aku mau jadi gembala!”

Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Esok harinya, dia memberi anaknya kantong bersi tiga koin emas Spanyol kuno.

“Ini kutemukan di ladang suatu hari. Aku ingin ini menjadi bagian warisanmu. Tapi pakailah untuk membeli domba. Bawalah ke padang-padang, dan suatu hari kau akan tahu bahwa desa-desa kitalah yang terbaik, dan perempuan-perempuan kitalah yang tercantik.”

Dan dia memberi restu pada anaknya. Si bocah dapat melihat dari pandangan mata ayahnya hasrat untuk bisa, bagi dirinya sendiri, berkelana ke seluruh dunia — suatu hasrat yang masih menyala, meski ayahnya berusaha menguburnya, selama berpuluh tahun, di bawah beban perjuangan untuk mendapatkan air untuk minum, pangan untuk makan, dan tempat yang sama untuk tidur setiap malam sepanjang hidupnya. (Agushari.oke)

Derawan

(sekedar mampir sejenak menikmati surga pantai di timur Kalimantan)

Bau asin angin yang membawa butiran-butiran garam sudah mengganggu indra penciumanku saat kami membeli makan diwarung nasi kuning pinggir jalan. Ya, hari ini perjalanan kami untuk sekedar mampir sejenak ke salah satu surga pantai di Indonesia, Derawan! Setelah penuh pertimbangan yang sangat tidak matang dan keragu-raguan kami akhirnya memutuskan pergi ke Derawan setelah hampir 1 bulan kami menyambangi hutan Meraang untuk studi regenerasi. Pagi-pagi benar kami bersiap, selepas subuh kendaraan kami telah sampai di penginapan untuk mengantarkan kami menuju dermaga penyebrangan ke pulau Derawan.

Setelah berkenalan dengan supir dan memasuki mobil, segera saja kami menancapkan pedal gas dalam-dalam untuk melintasi hitam pekatnya aspal, seperti subuh itu. Mentari belum benar-benar bangun dan memancarkan sinarnya, namun 15 menit selepas perjalanan kami dimulai, rona merah telah menghiasi bagian timur pulau Kalimantan. Rona itu tampak indah, merah merekah seperti kuncup-kuncup mawar yang masih muda, semuda gelora jiwa kami menyambut keindahan Derawan. Berlatar belakangkan Fajar, Tampak Tongkang-tongkang melaju membawa batu bara dari perut bumi Kalimantan, membawa kekayaan alam dimana di atasnya hutan kami dilibas. Rumah  keanekaragaman hayati kami musnah bersama penghuni-penghuninya. Jembatan besar yang melintang di sungai itu kami sebrangi, sembari menatap fajar dan pernak-pernik pagi. Mobil melintas cepat menyibak kegelapan. Read More…