Archive | December 2015

Berapa Gaji Anda ??

Oleh: Agus Hariyanto

Saya mencoba mencari – cari data penghasilan rata – rata orang Indonesia. Pendapatan per kapita di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 27.487.046.94 per tahun atau sekitar Rp 2.290.587,24 per bulannya. Ini merupakan angka tetap, yaitu angka yang resmi ditetapkan oleh BPS sebagai Pendapatan per kapita di Indonesia versi Badan Pusat Statistik. Sedangkan pada tahun 2012, Pendapatan per kapita orang Indonesia menunjukkan peningkatan hingga menjadi Rp 30.674.674,07 per tahunnya, atau apabila dibagai 12 akan menjadi sekitar Rp 2.556.222,84 per bulan. Ini merupakan angka sementara, yang berarti angka ini hanya bersifat temporer dan masih bisa berubah walaupun perubahannya tidak akan melenceng jauh dari angka sementara tersebut. Dan pada tahun 2013, pendapatan per kapita Indonesia kembali meningkat menjadi di angka Rp 32.463.736,28 per tahun atau sekitar Rp 2.705.311,36 per bulan. Untuk tahun 2015, saya sendiri belum mendapatkan datanya.

Sumber: http://www.adrianoize.com/2014/06/rata-rata-penghasilan-orang-indonesia.html
Lalu, dengan melihat data di atas, berapa gaji fresh graduate?
Saya pun mendapatkan link gaji dari http://dlowongankerja.com/daftar-standard-gaji-perusahaan-fresh-graduate-2015-indonesia/ tahun 2015 yang menyatakan sebagai berikut:

Sektor Sumber Daya Alam dan Energi (Daftar Standard Gaji Perusahaan Fresh Graduate 2015)
Anda bisa menilik Daftar Standard Gaji Perusahaan untuk Fresh Graduate 2015 dari sector Sumber Daya Alam dan Energi. Setidaknya anda beberapa perusahaan dari sector ini yang mampu memberikan gaji yang cukup tinggi untuk fresh graduate. Perusahaan yang dimaksud adalah sebagai berikut: arutmin (8,5 juta per bulan), adaro energy (8,8 juta per bulan), KPC (9,8 juta per bulan), berau coal (9 juta per bulan), PT Indo Tambang Raya Megah (9,3 juta per bulan), cikarang listrik indo (4,5 juta per bulan), dan Bakrie Sumatra Plantation (4,2 juta per bulan).

Sektor Keuangan
Sudah disinggung sebelumnya jika gaji yang diberikan, tergantung sector tempat anda bekerja. Inilah Daftar Standard Gaji Perusahaan untuk Fresh Graduate 2015 yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan yang bergerak pada bidang jasa keuangan. Perusahaan-perusahaan tersebut diantaranya: ACC (5,5 juta per bulan), BNI (4,6 juta per bulan), bukopin (6,8 juta per bulan), City Bank (8,1 juta per bulan), Bank Muamalat (6 juta per bulan), ODP bank Mandiri (4,3 juta per bulan untuk daerah dan 4,8 juta per bulan untuk pusat), ODP BTN (6,8 juta per bulan).

Sektor BUMN (Daftar Standard Gaji Perusahaan Fresh Graduate 2015)
Perusahaan milik pemerintah biasanya memberikan gaji yang cukup besar untuk fresh graduate. Tentunya, hal tersebut sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh pekerjanya. Berikut ini beberapa perusahaan BUMN yang siap memberikan gaji tinggi untuk fresh graduate, diantaranya: pertamina (8 juta per bulan), PLN (5 juta per bulan), Pusri (5 juta per bulan), Pelindo (5,5 juta per bulan), P.T Timah (5,3 juta per bulan), Krakatau Steel (3,3 juta per bulan), P.T Indah Karya (3,7 juta per bulan), dan MT Krakatau Posco (5,7 juta per bulan).

Tapi, setelah saya mendiskusikan dengan beberapa kawan, daftar gaji di atas “ketinggian”. Banyak fresh graduate yang digaji sekitar 4 jutaan saja di Jakarta. Sedangkan untuk di daerah, gaji akan lebih rendah lagi.
Bagaimana menurut Anda. Apa Gaji Anda lebih rendah dari fresh graduate dan Rata-rata pendapatan orang Indonesia?

Selimut Ego

Ma, Cinta itu tak berjarak
Cinta juga tak dapat diraba
Tak dapat dilihat eksistensinya
Ia abstrak
Seperti awung-awung di dimensi imaji

Ma, Aku tak ingin memakai gincu
Mengucap cinta hanya pemanis rancu
Seperti muka yang bertopeng tipu
Semesta di benakku sipu malu
Tuk ucap kucinta padamu

Ma, bukan ku tak Cinta
Bukanku berdusta
Aku hanya tak bisa
Mengucap cinta padamu
Karena jarak dimasa lalu
Menyisa kelam di hatiku

Ma, dalam rindu
Sengan sipu
Di sisi sunyiku
Ku ucap cinta dengan bisu
Di hari Ibu
Ma, I Love You
Kau selalu ada di doaku
Terlibat atas hidupku
Sekali lagi aishiteru

(Diyo)

Train Someone Else

DOSEN saya mantan Menteri Pertahanan pada pemerintahan Gus Dur, yaitu Pak Yahya Muhaimin, pernah mengatakan di depan kelas (kelas yang ribut, tentu) kira-kira begini, “Kalau teman Anda presentasi di depan kelas, dengarkan. Saya saja yang sudah tua pasti mendapatkan sesuatu yang baru.”

Pak Yahya, seorang pengajar yang sudah puluhan tahun mengajarkan ilmu, ternyata mendapatkan ilmu baru dari para mahasiswa yang diajarnya. Mungkin karena dalam pengajaran itu terjadi diskusi dari pengalaman orang per orang yang melibatkan sudut pandang baru, dengan tema-tema yang baru.

Dalam sebuah pelatihan menulis, saya minta peserta untuk membuat satu paragraf dengan satu kata. ada satu peserta yang agak unik. Dia kesulitan menulis, dan dia bercerita tentang kesulitan itu. Kan yang penting ada kata “permen”-nya?

Dari situ saya malah mendapat ide untuk membuat kumpulan cerpen tentang kesulitan membuat cerpen. Meskipun belum terlaksana, saya jadi percaya prinsip tidak meremehkan ini dapat menumbuhkan ide-ide baru.

________________________________

Instagram/ Twitter: @AriefBakhtiarD

Pelajaran Keuangan Pribadi

DI DUNIA pendidikan selalu ada yang mengganjal di pikiran saya. Misalnya, mengapa masalah pengaturan uang saku tidak diajarkan sejak sekolah dasar.

Pelajaran ekonomi hanya begitu-begitu saja, tapi tak ada bab mempelajari pengaturan uang saku. Padahal ini aplikasi ilmu ekonomi yang paling penting karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Tujuannya simpel sekali, yaitu agar anak bijaksana membelanjakan uangnya.

Di buku yang saya lupa judulnya, ada tulisan tentang mencerdaskan bayi & balita (ceileh bacaannya!), salah satunya menyebutkan anak sudah bisa diajarkan menabung sejak usia 18-24 bulan.

Bayangkan kalau anak-anak Indonesia masa depan adalah anak yang peduli terhadap tiga hal pada uang sakunya: satu bagian dipakai jajan, satu bagian ditabung, dan satu bagian disedekahkan pada yang membutuhkan. Pada saat dewasa, hidupnya pasti akan baik-baik saja: tidak boros, tidak pelit sedekah, tidak mengeluh di saat sulit uang, dan punya simpanan untuk pengeluaran tak terduga, dan seterusnya.

Saya kira hal-hal ini yang perlu diajarkan oleh guru ekonomi di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, bahkan sekolah menengah atas.

_______________________________

Instagram/ Twitter: @AriefBakhtiarD

Jiwa Riset

Melakukan penelitian sebenarnya kelanjutan dari rasa ingin tahu kita terhadap sebuah persoalan yang muncul. Misalnya kita biasa melewati sebuah rute jalan yang halus. Lalu, dalam sebuah perjalanan jauh di luar kota, kita mendapati perjalanan dengan jalan penuh lubang. Tidak nyaman kan? dengan rasa tidak nyaman itu kita ingin tahu, mengapa jalan di daerah tersebut banyak lubang dan tidak diperbaiki oleh pemerintah sedangkan di daerah kita jalan rusak sedikit saja diperbaiki.

Pertanyaan di atas dapat menuntun kita pada sebuah penelitian sederhana. Mungkin kita akan bertanya pada kawan di daerah tersebut, orang yang kompeten dan mungkin pula menelusuri melalui berita di koran dan internet. Dengan penelusuran yang kita lakukan, kita akan mendapatkan banyak sekali informasi seperti kemungkinan perbedaan struktur tanah, struktur birokrasi, struktur ekonomi dan mungkin pula tidak meratanya pembagian alokasi dana oleh pemerintah pusat.

Apa yang kita lakukan di atas adalah penelitian. Semua dimulai dari rasa ingin tahu. Masalahnya adalah seberapa besar kita ingin tahu akan banyak hal di sekitar kita?

Saya merasakan pendidikan yang saya enyam tidak mendukung saya untuk menjadi periset. Rasa ingin tahu saya seolah “dibunuh” di sekolah. Saya dicekoki dengan buku – buku pelajaran yang saya sendiri tidak pernah ditanya mengenai manfaat buku tersebut bagi hidup saya. Jadi, pelajaran akan menjadi sesuatu yang membosankan. Lebih membosankan lagi jumlah pelajaran yang sangat banyak dan mata pelajaran yang disampaikan di ruang 8×8 meter.

Terkadang, saya membayangkan sistem pendidikan yang memacu anak untuk “ingin tahu”. Misalnya dalam sebuah pelajaran matematika yang tidak sekedar menulis angka dan angka. Tapi, mengaplikasikan dalam kehidupan. Saya beri contoh situasi ketika belajar berhitung angka satu sampai sepuluh. Pelajaran tersebut dapat dilakukan dengnan memberi tugas pada anak untuk menghitung berapa jumlah anggota keluarga di rumah, atau berapa jumlah pintu di rumah, atau berapa jumlah tempat sampah di rumah. Lalu, sang anak diminta menceritakan hal ini di depan teman – temannya. Anak – anak lain boleh bertanya mengenai siapa nama anggota keluarga yang disebutkan, misalnya kakak sekarang sekolah dimana, hobi kakak dsb.

Ketika sang anak mempraktekkan menghitung jumlah apapun itu di rumah, kemudian mempresentasikan, anak sudah belajar dua hal sekaligus. Anak belajar matematika dan berani untuk mengutarakan pendapat.

Mungkin ilustrasi di atas terlalu sederhana. Tapi, sebenarnya pelajaran seperti di atas dapat diterapkan pada anak SD, SMP maupun SMA dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Misal di anak SMP, maka anak akan menyampaikan sekaligus menulis untuk majalah dinding mengenai apa yang dia hitung di rumah. Bagi anak SMA dia akan mempraktekkan dengan membuat presentasi dengan bahan kertas atau dengan media komputer. Simple dan memiliki pengaruh pada anak.

Belajar Fisika, Biologi dan pelajaran lain pun, menurut saya dapat diadaptasi dengan cara demikian. Misalnya belajar mengenai daya listrik dalam studi Fisika dimana anak – anak dapat diberi tugas menghitung daya di rumah masing – masing. Lalu, berapa Kwh per hari, perbulan, bahkan pertahun yang digunakan oleh keluarganya. Bisa juga muncul pertanyaan konsumsi listrik terbanyak di alat memasak kah atau penerangan. Dengan cara ini, anak diajak mengaplikasikan ilmu yang dipelajari dengan memahami lingkungan sekitar. Mungkin tidak hanya rumah sendiri, bisa juga rumah kakek atau rumah paman.

Intinya, anak seharusnya punya jiwa riset. Sekolah menjadi ruang dimana rasa ingin tahu itu dipelihara, bukan dibunuh. Menurut saya, Inilah modal penting yang akan menuntun anak membuat penemuan di masa yang akan datang!

Ingin jadi Pengusaha

Steven Jobs dalam sebuah pidato monumental di Stanford tahun 2005 menceritakan kisahnya membangun Apple. Dalam bahasa lugas, dia mengungkapkan dirinya beruntung karena menemukan apa yang dicintai dalam hidup ketika usianya masih awal 20an. Dia dan Woz memulai perusahaan Apple dari garasi. Sepuluh tahun kemudian, Apple menjadi perusahaan senilai dua milyar USD dengan lebih dari 4000 karyawan.
Siapa pemuda yang tak mau memiliki kesuksesan dalam bisnis seperti Steven Jobs? Saya yakin sebagian besar menginginkannya. Dengan menjadi pengusaha maka kita akan bebas menentukan hari kerja, bebas menggaji diri kita dan lain sebagainya. Saya kira keunggulan posisi pengusaha dibandingkan posisi pekerjaan lain telah diketahui cukup baik oleh masyatakat Indonesia.
Global Entrepreneurship Monitor (GEM) pada tahun 2013, melakukan survai mengenai keinginan warga negara untuk menjadi pengusaha. Dalam survai tersebut menunjukkan bahwa keinginan berwirausaha masyarakat Indonesia adalah yang kedua tertinggi di ASEAN setelah Filipina. Fakta ini tentu menggembirakan.
Sayangnya, fakta di lapangan tahun 2015 menunjukkan persentase jumlah pengusaha di Indonesia baru 1,65 persen dari jumlah penduduk. Persentase tersebut jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, atau Thailand, yang masing-masing memiliki persentase pengusah sebanyak 7 persen, 5 persen dan 3 persen.
Berkaca dari keinginan dan fakta di atas, apa betul kita ini baru sampai tahap sekedar “ingin menjadi pengusaha” saja?

Goreng Rekening

Saya mendengar istilah “goreng rekening” sekitar satu bulan lalu, Januari 2015 ketika seorang sahabat bercerita mengenai bagaimana cara berhutang di bank. Dia menceritakan, praktik “goreng rekening” dilakukan oleh banyak orang untuk meraup keuntungan. Cara ini pula yang diajarkan di beberapa event seminar yang mengatasnamakan “membeli properti tanpa hutang”, dan seminar sejenis. Jadi, ilmu “goreng rekening” mungkin ilmu yang berharga bagi Anda.
Apakah mungkin seseorang tanpa penghasilan besar hutang sampai 2 Milyar? Secara sederhana saya akan menjawab tidak mungkin. Tapi, dalam istilah “goreng rekening”, praktik ini dimungkinkan.
Caranya kita harus memiliki usaha, kemudian kita memiliki beberapa kawan setia yang mau membantu untuk memperbaiki profil keuangan kita di bank. Kita bisa bekerja sama dengan kawan – kawan kita tersebut untuk saling memperbaiki profil keuangan di bank. Misal kita memiliki uang 10 juta rupiah. Teman kita ada 5 yang memiliki uang sejumlah yang sama. Dengan modal 60 juta rupiah, kita bisa menggoreng rekening dengan cara membuat uang 60 juta tersebut keluar masuk rekening kita.
Membuat keluar masuk uang tidak akan ribet kalau kita memiliki banyak kawan. Sebagai misal kita meminta pekan ini enam orang transfer masing – masing 10 juta ke rekening. Lalu, kita ambil 50 juta di akhir pekan. Di pekan selanjutnya, kita bisa mengambil 50 juta yang kemudian kita berikan lagi ke teman yang lain untuk mentransfer uang tersebut ke rekening kita. Jadi, seolah – olah mereka adalah konsumen kita.  Tindakan mereka transfer uang adalah dalam rangka membayar jasa atau barang yang kita perdagangkan.
Dengan melakukan hal tersebut secara konsisten, kita akan memiliki profil keuangan berupa uang keluar masuk rekening sekitar 200 juta. Kita bisa melakuan praktik ini sampai tiga atau empat bulan. Bilang saja ke bank kalau uang yang ditarik dari rekening dilakukan untuk jalan – jalan dan sebagainya.
Nah, setelah itu, ajukan saja hutang ke bank. Misal hutang sejumlah 2 Milyar. Dari uang 2 milyar, kita gunakan 1 Milyar untuk membeli tanah yang lokasinya strategis. Kemudian 500 juta untuk membeli rumah dan tempat usaha sederhana untuk kita, lalu 500 juta lagi kita biarkan ada di rekening.
Uang 500 juta di rekening nantinya akan diambil secara otomatis oleh bank untuk diambil sebagai pembayaran hutang. Anggaplah misalnya diambil sejumlah 24 juta per bulan, maka uang 500 juta dapat membuat kita membayar cicilan minimal 20 bulan ke depan. Jadi, kita tidak usah pusing – pusing soal cicilan selama 20 bulan.
Setahun atau ketika melihat tanah yang kita beli sudah memiliki nilai strategis, saatnya kita menjual tanah tersebut. Ingat, kita membeli tanah seharga 1 M dan hutang kita di bank sejumlah 2 M. Jadi, tanah tersebut minimal harus laku 2 M. Jika sudah mencapai harga 2 M, tinggal feeling kita aja kira – kira bisa naik lagi atau tidak. Jika tidak, ya jual saja seharga 2 M.
Nah, uang penjualan tanah tersebut kita berikan ke bank untuk membayar hutang kita. Kita pun untung sejumlah  500 juta berupa tanah dan tempat usaha. Dan kalau tanah laku sebelum 20 bulan, artinya kita juga untung dari uang yang ada di rekening.
Mendengar cerita kawan saya diatas, saya menggut – manggut. Maklum, saya awam sekali dalam hal investasi dan bisnis, karena keseharian saya disibukkan dengan ternak teri alias antar anak antar istri, lalu berkutat dengan buku dan film di malam hari. Saya sungguh heran dengan cara bisnis yang disampaikan sahabat saya ini.
Lalu, saya berpikir apakah pihak bank akan rugi dengan praktik ini? Ternyata tidak! Bank akan dibayar sejumlah hutang yang diberikan, jika skenario diatas lancar. Jika skenario tidak lancar, maka aset yang dimiliki nasabah akan disita, atau akan dibayar oleh asuransi.
Sampai disini, saya puyeng juga. Apa iya pihak bank tidak mengetahui praktik ini. Atau saya yang “terlalu awam” dalam praktik bisnis yang semacam ini? Entahlah…

Wonosobo, 14 Februari 2015

Eco-Friendly?

SEBAGAI generasi berpendidikan, saya punya keyakinan kita harus mempraktekkan apa yang kita tahu. Meskipun terkadang sulit (sangat sulit), saya rasa kita harus memulainya.

Tema ramah lingkungan bisa menjadi praktek yang ringan. Kita bisa memulai dari tidak perlu meminta tas plastik kalau kita bisa membawa barang belanjaan sendiri. Ketika membeli sesuatu, saya selalu menolak pakai plastik, bahkan sewaktu membeli buku di TB Gramedia. Saya sering diberhentikan satpam di depan pintu masuk untuk mengecek apakah saya mencuri buku itu atau membeli. Saya tidak ada masalah, tidak tersinggung.

Atau, praktek lain, dalam dunia akademis, ketika mengumpulkan tugas-tugas, kita sebenarnya bisa mengurangi penggunaan kertas. Istilahnya, paperless. Saya rasa itu penting buat dicoba (meskipun dalam beberapa hal saya masih tidak nyaman dengan membaca e-book).

_______________________________

Instagram/ Twitter: @AriefBakhtiarD

Persetan dengan Judul

Buku saya tutup, sebuah kedalaman mengendap di benak saya. Hati saya tergetar, saya jatuh cinta untuk kedua kalinya.

Kalian tahu rasanya jatuh cinta? Rasanya aneh, seperti nano-nano. Sulit mengekspresikannya dengan lebih detail karena bentuknya sangat abstrak. Saya terjatuh dalam diskusi panjang mengenai itu. Hape saya berbunyi, saya buka hape itu dan kembali membaca. Berikut diskusinya.

(1): “Bukankah cinta itu sejenis perasaan?” sebuah nomor muncul sembari menampilkan kata-kata tersebut. sebut saaja nomor itu sebagai (1) (Bukan nama sebenarnya).
(2): “Kata siapa (1)” tanya (2), (Lagi-lagi bukan nama sebenarnya)
(1): “Tak kira aja sih bung” (1) menyahut tak lama kemudian. Saya mulai tertarik dengan perbincangan ini, terkadang ketika dirimu merasakan sesuatu, dunia tak lepas dari soal itu.
(3): “Ndak (1)” (3) menyambar dengan derasnya.
(3): “Cinta itu cuma di cangkem saja”  (3) memanaskan perbincangan. Tak lupa ia menyertakan *Njuk Baper.
(2): “Cinta itu Fana” tampak nama (2) muncul kemudian.
(1): “Karena dunia itu fana berarti dunia = cinta?”
(2): “Duniawi dan sesaat”
(1): “Tetapi tetap diperlukan gak bung?”
(3): “Ndak!! Aku enggak butuh cinta!!! Aku nggak perlu cinta!!!
(3):  “Taeeeek!!!”
(2): “Menurut standart manusia yang dibuat oleh mausia itu sendiri, iya!”
(3): “Omong kosong!! Taek!!”
(1): “Sabar bung sabar”
(2): “Cinta itu konsep yang dibuat oleh dominasi mayoritas”
(2): “Sama seperti demokrasi”
(3): “Taek!!”
(3): “gue kagak butuh cinta”
(2): “As Shit as Possible”
(3): “Apalagi dari elo!!!”
(2): “Cinta itu konsep dari pemenang perang dunia”
(1): “Kok aku tiba-tiba dadi keingetan acara TV sing sore2 ngegap perselingkuhan kui yo.”
(2): “Cinta sejati adalah cinta JKT 48 bung”
(4): “Cinta itu adonan roti yang pake pemanis bung! Manisnya gak asli!”
(2): “ Wah (4) dadi numpang curhat ki, ganti topik yuk…”
(4): “Janyuk…”
(4): “Aku gak baper kok”
(3): “Omong kosong cinta”
(1): “hahaha…”
(2): “Baper ki nggak negatif lo, bisa positif misal perasaan senang”
(2): “Nah pertanyaanya, apakah perasaan senag itu positif?”
(4): “Kalau senang itu positif berarti sedih itu negatif. Apakah diantaranya akan terjadi proses tarik menarik?”
(3): “Tau apa yang lebih palsu dari pada make up?”
(3): “Cinta!!”
(4): “Belum dijawab bung, jangan dijawab sendiri. Jawabanya pasti Cinta!”
(1): “Bung (3) nampaknya punya kenangan buruk dengan cinta yo?”
(3): “(Tiba-tiba menghantam meja) Kamu tahu apa, (1)?!!”
(3): “eh salah”
(3): “Loe tahu apa, (1)!?”
(2): “itu sebenarnya strategi pencitraan bung (3), alias pancingan asmara.
(2): “mencitrakan diri sebagai sosok yang menganggap cinta itu buruk dengan harapan bisa menarik perhatian seseorang yang ingin membuktikan bahwa cinta itu enggak buruk!”
(1): “Udah bung, tarik napas dulu, ini ada warna warni cinta untukmu”
(3): “Lo kagak usah banyak bacot ndan”
(1): “iya bung (2), Bung (3) memang tactical strategist player yang lincah”

Percakapan lalu sepi untuk beberapa saat

(2): “setelah strateginya terbongkar, Bung (3) akhirnya menghilang”
(3): “taek lo semua”

Percakapan berhenti disitu, saya hingga saat ini merasa itu percakapan yang sangat absurd. Namun, saya masih merasakan rasa yang didiskusikan tersebut. Entah apakah rasa itu akan bertahan lama, saya tidak bisa menerka rasa. Saat ini saya hanya bisa merasa.

Buku itu berjudul Le petit Prince, Karya Antoini de Saint-Exupery. Buku yang sangat manis, bahasa puitis, membuat saya ingin menangis. Setelah membaca buku itu, saya kembali ingin menulis,ingin menyampaikan perasaan saya melalui kata-kata, ingin mencurahkan imajinasi dalam gambaran sebuah cerita, dan ingin menyarikan cerita menjadi sebuah makna. Dan saya ingin menuliskan itu semua dengan cinta. Karena tulisan itu, adalah anak kandung saya. (Diyo)

Buat apa pakai judul

Malam-malam bulan september adalah malam-malam yang paling romantis. Saat itu di langit tenggara, gubuk penceng muncul bertahkta di Cakrakembang. Angin berhembus perlahan, dari utara menuju selatan membawa nuansa hangat dari musim kemarau dibulan-bulan lalu. Hujan belum benar-benar turun karena bulan-bulan ini musim peralihan. Pohon-pohon di tepi sawah tampak meranggas menggugurkan dedaunannya, menciptakan nuansa mistis kala purnama utuh menunjukan batang hidungnya. Cabang-cabang kering seperti menciptakan luk keris ketika binar rembulan jatuh menimpanya.

Aku duduk menekuri malam, sepi menghembus sanubari, Apakah malam selalu begini? Sawah tepian desa kembali menjadi temanku bercengkrama dengan lautan kesunyian. Sawah tidak lagi berwarna hijau dan berair. Kini, sawah kuning kecoklatan tatkala bulir-bulir padi telah tumpas oleh ani-ani petani. Tanah coklat tampak kering merekah seakan air adalah suatu yang mewah.

Jauh dilubuk hatiku yang dalam, ada kerinduan dengan sisi-sisi kemanusiaan bernama cinta. Ini bukan soal remeh temeh masalah romantika, namun tantang gairah kehidupan. Tentunya manusia-manusia yang bahagia adalah manusia yang benar-benar memahami arti kata ini. Entah itu cinta terhadap keluarganya, tanah airnya, kekasihnya, saudaranya, kemanusiaan ataupun Tuhan Sang Maha Segala. Sayangnya, hati ini telah kering seperti sawah dibulan september ini. Meretak-retak berharap pada air. Apakah arti hidup ini tanpa itu semua, tanpa cinta dan tanpa cita, hanya menjadi ampas dari sari pati kehidupan.

Aku berdiri, menatap langit malam. Bintang selalu menghiasi malam-malam. Apakah dia tidak pernah merasa kesepian?  Puh! Mungkin dia hanya bintang-bintang, tapi dari manusia-manusia yang penuh cinta, Bintang-bintang itu menjadi penuh arti. Tentang kerinduan dimana kedua hati saling menatapnya, mengenai petunjuk-petunjuk mengenai kemana langkah harus mengarah. Ah! Mengapa hati ini menjadi melankolis.

Kulangkahkan kaki untuk kembali pulang. Seribu pertanyaan yang menggelayut di benakku tidak terjawab oleh sunyi dan sepi, hanya suara binatang malam yang menghadirkan nuansa lain di dalam diriku.

***
Perenunganku kembali menggelayut diruang-ruang imajinasi. Kamar kecilku menggoda dengan cicak yang berlari serta tak lama kemudian jatuhlah sebuah tahi. Tak jauh dari jatuhnya tahi itu sketchbook masih membuka, masih halus dan mulus serta putih seperti susu yang baru saja diperah dari sapinya.  Kertas yang halus itu kuraba, memang terasa sedikit relief-relief di permukaannya, namun reliaf itu sangat lembut walaupun tidak sehalus HVS 80 gr. Dari lekukan-lekuan kecil di permukaan kertas sket, terasa sebuah spirit untuk sekedar mencoretkan sesuatu di atasnya.

Rasa takut muncul di hatiku, kertas putih yang polos tampaknya sudah sangat indah. Diriku takut untuk mengotorinya dengan menempatkan goresan yang tidak pada tempatnya, goresan yang akan mengganggu keberlangsungan gambarku selanjutnya, goresan yang membuat luka dan cacat di kertas putih ini. Terlihat sebuah kepengecutan mengambang di benakku, ragu-ragu, takut, dan ciut.

Kertas itu masih putih untuk beberapa lama, bahkan sangat lama bila menghitungnya dalam sebuah relativitas waktu. Detik-detik melangkah dengan gagah di lingkaran waktu yang menempel di dinding tembok kamar. Setiap hembusan nafasku mengabarkan dalamnya keraguan dalam benakku. Keraguan yang sangat, walaupun sekedar untuk melakukan goresan pertama di kertas putih itu. Lama dalam kesunyian, dan kertas itu masih tetap saja putih.

Dalam stuck yang panjang itu diriku kembali kemasa lalu, kembali melangkahi waktu untuk mencari tiap-tiap langkah yang kulalui hingga detik dimana diriku ragu menggoreskan sebuah coretan. Ingatan menelusupi lorong-lorong panjang, mencari ingatan tersembunyi dibalik lipatan-lipatan sistem limbik. Di sana kumulai mengais-ngais ingatan. Ooh… Betapa pengaruh masalalu membekas dalam setiap pribadi manusia.

Kepengecutanku tidak hanya dimulai di titik ini. Dahulu, dahulu sekali, saat diriku masih menjalani saat-saat sekolah. Diriku selalu terbentur oleh rasa ragu dan pengecut. Diriku tidak pernah melangkah dalam kepastian serta takut untuk menerima resiko dari keinginanku yang paling dalam, sehingga diriku terayun diombang-ambingkan ombak kehidupan. Pernah suatu masa ketika aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan kepencinta alaman. Diriku merasa bahwa di sana akan kutemukan diriku yang lain, kepingan diriku dalam kehidupan untuk membangun mimpi dikemudian hari. Namun, restu yang tak kunjung datang membuat hati ciut untuk meneruskan kegiatan itu. Akhirnya diriku terkatung-katung dalam hidup segan matipun tak mau. Diriku hanya mengikuti sebagian kecil kegiatan yang diadakan oleh komunitas itu. Mengikuti semua dengan setengah hati, dalam keterbimbangan. Apa yang akan didapat dari aktivitas yang kita lakukan dengan setengah hati? Tidak ada, tidak ada yang dapat diperoleh dari aktivitas yang dilakukan tanpa tercurah cinta di dalamnya. Disitu mulai lunturlah cinta dan cita yang bersemayam di hatiku.
Satu contoh kecil kepengecutanku dari sekian banyak hal yang aku hadapi dengan pola yang sama. keinginan yang tidak sejalan dengan pandangan orang disekitarku, tanpa pernah berani bertarung untuk membuktikan bahwa pilihanku yang tepat. Diriku tidak siap untuk kalah dalam pertarungan itu, diriku tidak siap dicibir ketika terjatuh dalam kubangan lumpur kekalahan, sehingga diriku mundur teratur dan mengikuti aliran kehidupan di depanku. Puh! Aku benci dengan diriku sendiri yang tidak mampu bersikap dengan lebih berani. Apa artinya hidup tanpa pernah berjuang mempertahankan keyakinan, tanpa pernah bertarung untuk sebuah kemenangan? Mungkin diriku tidak akan mengalami kekalahan dan cemoohan dari orang, namun diriku juga tidak akan pernah merasakan kepuasan dari memenangkan sebuah pertarungan keyakinan. Didalam hidup, kekalahan itu pasti tapi kemenangan adalah sesuatu yang harus diraih. Bukan soal mengalahkan orang lain, namun mengenai kepuasan mendapatkan sesuatu yang kita yakini. Untuk mendapatkan itu, lubang jelas pasti terbentang dan ternyata diriku takut untuk sekedar terjerembab kedalamnya, padahal diriku pasti selalu bisa keluar dari lubang itu untuk kembali mengejar yang diriku yakini.

Kontemplasi masalaluku kuendapkan di dalam benakku terdalam. Renunganku mencapai taraf yang lebih tinggi, jauh meninggalkan tubuhku yang termenung. Apa yang sebenarnya aku cari selama ini?  Kesempurnaan dimata orang lain? atau mengejar cita-cita serta menuntaskan tugas serta tanggung jawabku sebagai manusia di dunia? Jiwaku berlari mencari-cari jawabanku dimalam itu. Aku rasakan bahwasannya awal kegiatan menggambarku ini sebagai renungan yang jauh kedalam diriku yang sebenarnya. Dan kesimpulan sementara dari pencarianku adalah aku pengecut.

***
Hidup adalah perjalanan panjang tanpa destinasi yang jelas. Ketika kita berhenti maka selesailah hidup ini. Mungkin sebagian orang memandang kematian adalah purnanya kehidupan, namun ternyata diriku berpendapat lain. Hidup selesai ketika kita berhenti dan aku tidak mau berhenti dengan menyesali kepengecutanku selama ini. Maka seketika itulah kubuka mata dan kutetapkan hatiku untuk menggambar. Mulai saat ini, akan kukikis kepengecutanku. Akan keberanikan diri untuk mulai menggambar. Masalah buruknya gambaran yang akan kugoreskan hanyalah sedikit lubang dari kehidupanku yang merentang didepan lubang itu. Awal goresanku ini akan menjadi awal sebuah meditasi panjang menggambar.

***
Goresan pertama mulai kucipta. Terasa benar tangan bergetar. Dengan ayunan perlahan dan tremor di tangan jadilah goresan pertamaku di semesta menggambar. Ia hanya sekedar sapuan karbon dari pensil yang merentang di jagad bernama kertas. Namun, tampak sekali keragu-raguan terbaca dari jejak-jejak karbon itu. Kepengecutan, ketakutan, kekerdilan diri terpampang jelas di atas kertas berrelief lembut di depanku. Diriku menarik nafas yang panjang dan dalam. Kurenungkan makna itu semua, ternyata kepengecutanku masih terlihat jelas disana. kuambil penghapus dan mulai kukikis karbon yang melekat di kertas itu.

Egoku masih terasa kental mengalir di pembuluh darahku. Ia mempengaruhi pikiranku untuk selalu menjadi orang yang harus sempurna dimata dunia. Bukan menjadi diri sendiri dan mengejar cita, cinta dan makna. Setiap goresan selalu kurevisi melalui sapuan karet penghapus. Banyak analisis yang kulakukan untuk sekedar coretan pertama agar tampak sempurna dimata dunia. Harus sedikit kekirilah, kurang teballah, atau tidak persis dengan model yang kugunakan, seakan menggambar bukanlah sebuah curahan jiwa, namun perihal kering, mengenai baik atau tidak.

Kembali aku menekuri kertas yang sekali lagi kosong. Kuturunkan egoku kedalam lapisan terbawah dari benakku. Kuendapkan dalam-dalam dan mulai merenung. Apa memang benar diriku saat ini menggambar untuk sekedar mengejar kesempurnaan. Adakah kesempurnaan di kehidupan yang fana ini?  Malam ini masih sebuah langkah kecil untuk memasuki dunia menggambar, langkah yang masih prematur karena belum 9 bulan benar kukandung proses kreatifitasku di dunia menggambar, namun aku terlalu tergesa untuk ingin menjadi sempurna.
Dalam kehidupan nyata, bunga selalu indah dan tampak sempurna. Keindahannya berbuah manis menjadi biji-biji yang diterbangkan berbagai komponen kehidupan. Biji itu melahirkan individu-individu baru penghuni dunia. Namun ternyata, banyak pepohonan yang inisiasi bunganya gugur sebelum berkembang. Proses itu seringkali dinamakan belajar berbunga dari pohon berusia muda. Secara kodrati setiap yang hidup mengalami pembelajaran. Dan diriku terlalu sombong untuk belajar dari nol mengenai dunia lain yang harus aku lalui.

Aku membuka mata dan mulai menata pikiranku. Aku akan menggambar dengan seluruh jiwaragaku untuk yang terbaik, Namun aku juga harus siap untuk menjadi bukan apa-apa diawal proses kreatifku ini. Akan kucurahkan semua pengalaman yang melekat di dalam diriku untuk mengisi kertas kosong di depanku. Mungkin akan dicaci dan itupun bukan sekali duakali. Namun, kejatuhan-kejatuhanku itu adalah pembelajaran. suatu saat, kejatuhanku itu akan menjadi masalalu dan kupandangi sebagai bagian dari perjalanan.

Kuyakinkan diri untuk menggoreskan pensil disuatu titik. Tempat itu menjadi awal perjalanan panjang proses menggambarku. Mungkin objek gambarku nanti menjadi tidak imbang, berat sebelah ataupun tidak proporsional, namun persetan itu semua. Yang menjadi penting saat ini adalah melakukan sesuatu. Sembari melakukan itu pasti nanti diriku akan mulai belajar meletakkan dan menggoreskan pensil pada tempat yang tepat. Kucoret kertas masih dengan ragu-ragu namun meyakinkan diri untuk terus melanjutkan proses itu.

***
Coretanku masih kasar, dari arsiran tipis yang kuhasilkan masih tampak goresan-goresan yang seakan berdiri sendiri serta tidak padu dengan arsiran yang kubuat. Disatu sisi arsiran lebih tebal bila dibandingkan sisi lainnya. Lekuk-lekuk arsiranpun tidak menunjukan bentuk yang sebagaimana mestinya, sehingga gambaran yang kuhasilkan kurang hidup.

Kupandangi gambaran di depanku, kucoba perbaiki arsiran yang telah kubuat. Kusekakan tipis-tipis ujung karbon kepermukaan kertas. pergelangan tanganku kubiarkan menari di atasnya, terkadang perlahan namun seringkali tarian itu meningkat intensitasnya. Saat intensitas pergerakan pergelangan tanganku meningkat tampak bahwa arsiranku menjadi tidak lembut dan harmonisasi butiran-butiran karbon yang melekat rusak, meninggalkan sebidang area yang tidak setara intensitas hitamnya.

Amarahku memuncak menyemburatkan jiwa muda yang kurang peka, sekedar semangat yang membuncah dan sekali lagi ego. Ternyata diriku belum lulus dari ujian yang harus kulalui dalam tiap-tiap tahapan menggambar. Amarah, ego dan ketidak sabaran yang masih kental di darah mudaku terpampang jelas dalam arsiran-arsiran yang kasar. Diriku tidak sabar untuk dengan perlahan-lahan dan step by step menutup bagian-bagian kertas dengan arsiran. Aku menginginkan arsiran yang teduh, tentram dan halus, namun apadaya gejolak pasti ada dalam setiap proses. Dan aku belum siap untuk bersabar dalam gejolak-gejolak yang muncul dalam setiap proses.

Kuambil nafas perlahan dan panjang. Kuhempaskan dengan perlahan sehingga terdengar desahan nafas dan degub jantungku di dalam telinga. Emosiku mulai kuturunkan. Arsiran kumulai lagi dengan perlahan. Butir-butir karbon yang terlepas dari ujung pensil mulai melekat diatas kertas. Sedikit-demi sedikit arsiran halus menutupi kertas yang tadi belum terarsir olehku. 1-2 cm2 kertas mulai tertutupi arsiran yang lembut, halus dan teduh. Namun, masih banyak ruang yang belum terisi oleh arsiranku. Hatiku kembali bergejolak, keinginan menyelesaikan gambar dengan cepat membuat diriku didorong oleh hasrat untuk mempercepat arsiran yang kubuat.  Akan tetapi, kembali kuambil nafas dalam dan kujatuhkan hasrat itu jauh dari benakku. Emosiku kuatur lagi karena pekerjaan tanpa hati yang tenang hanya menjadi pekerjaan yang tidak bermakna.

Tampaknya kesabaran memang menjadi hal yang tidak aku miliki selama ini. Dan hari ini semakin jelas ketika aku menggambar. Diriku selalu tergesa dalam menggoreskan pensil yang berada di tanganku. Hasratku berapi-api, emosiku meletup-letup, pikiranku menerawang jauh berfikir mengenai akhir dari gambar ini. Aku tidak pernah menikmati setiap proses dalam penyelesaian gambar ini. Gambarku menjadi tidak bernyawa karena diriku tidak mekmaknai setiap kejadian dalam proses menggambar ini.

Hari-hari kulalui dengan kejadian yang sama. Tujuan kupampangkan dengan jelas, langkah-langkah kususun dengan rapi, hanya saja proses tidak kulalui dengan kesabaran ekstra. Diriku seakan ingin loncat menuju garis finish tanpa pernah mengenyam proses berlari. Hal itulah yang membuat kehidupanku dan tujuan-tujuanku dipenuhi goresan-goresan kasar. Hatiku terlalu takut untuk berproses, terlalu tidak yakin dengan jalan yang kususun, terlalu banci untuk berpegang teguh pada sebuah keyakinan. Ketidak sabaranku itu perlahan-lahan mengkikis tujuanku di ujung sana.

***
Arsiran kulanjutkan dengan hati yang jauh lebih teduh. Ya! diriku memiliki tujuan akhir dari kegiatan menggambar ini, akan tetapi setiap proses itu perlahan-lahan harus kujalani. Sedikit demi sedikit arsiran kembali menutupi kertas. gejolak memang selalu ada, namun hatiku harus selalu kuat dan sabar untuk menekan gejolak itu. Emosi yang meletup dan keinginan untuk segera menyelesaikan gambar kutekan dengan hempasan nafas panjang. Tanganku kutahan untuk tidak terpengaruh oleh ledakan-ledakan emosiku agar selalu bisa menggoreskan proses dengan sewajarnya, dengan kesederhanaan. Goresan-goresan kasar yang tadi kutorehkan tetap kudiamkan. Hal itu akan menjadi pelajaran bagiku mengenai arti sebuah kesabaran.
Tujuan hidupku yang dulu kukubur dalam ketidak sabaran mulai terkikis bersama dengan melekatnya karbon di atas kertas. Diriku harus mulai lagi sedari awal untuk berproses mencapai tujuan yang berada nun jauh disana. Sepetak demi sepetak kehidupanku harus kuisi dengan arsiran yang kutorehkan dengan kesabaran.

***
Perlahan-lahan gambar mulai menunjukan bentuknya, bersama dengan bergulirnya bulan jauh kearah barat. Coretan-coretan,  baik kasar ataupun halus yang kutorehkan mengisi sebagian besar bidang kertas yang tadinya putih. Hatiku diliputi rasa malu yang sangat amat dalam karena karya pertamaku seakan tak bercela dimataku. Walaupun mungkin tidak bagus sebagus orang lain yang menggambar, namun diriku sudah terpukau oleh gambaranku yang kini terpampang didepanku. Ia tampak sempurna walaupun gembaranku belum purna.

Hati menjadi diliputi oleh sebuah nuansa baru. Nuansa dimana kepuasan meliputi seluruh diri. Kepengecutankupun kembali muncul kepermukaan. Diriku kembali ragu untuk menggoreskan pensil. Diriku takut bahwa goresanku yang akan aku torehkan memperburuk gambar yang sudah baik dimataku. Inilah cobaan dimana puncak sudah didepan mata. Terkadang saat puncak telah berada didepan mata dan dirikita jauh merasa letih, disitu dirikita menyerah dan sudah merasa puas dengan apa yang kita capai. Namun itu bukan puncak, itu bukan tujuan yang selalu kita impikan dan dengan sabar kita lalui prosesnya.
Diriku teratung-katung dalam perasaan bimbang. Diriku takut untuk meneruskan kegiatan menggambar ini dan cukup menyelesaikannya pada tahap ini saja. Namun, ini bukan tujuan akhir yang aku inginkan, diriku menginginkan semua komponen gambarku ada di dalamnya. Memang saat puncak telah tampak, disitu ujuan terberat menguji kita. Diriku diliputi kegelisahan untuk meneruskan.

Aku berfikir. Apa yang kucari dalam kegiatan menggambarku ini? Tujuanku sudah pasti, namun ketakutanku mengurungkan niatku untuk menyelesaikannya. Apakah di ujung penyelesaian gambarku akan berakhir dengan keindahan atau malah lebih buruk dari tahapan yang ada saat ini. Apakah sekedar keindahan dan kesempurnaan yang aku kejar?
Mungkin diakhir gambaran nanti, hasil gambarku akan terlihat buruk. Namun, bila diriku berhenti disini, diriku tidak akan tahu kesimpulan dari kegiatan menggambarku selama ini. diriku tidak tahu semampu apa diriku untuk menyelesaikan setiap proses dalam mencapai tujuan. Diriku tidak tahu tujuan akhirku, diriku tidak tahu seindah apa puncak yang kutuju. Dan saat diriku tidak tahu itu diriku akan selalu diliputi rasa ketakutan. Dan aku tidak mau hidupku berakhir seperti itu.

Kuteruskan proses menggambarku. Kulepaskan semua kehendak yang akan mempengaruhiku untuk menghentikan proses panjang ini. kuterabas masa depan untuk melihat seperti apa akhir semua proses yang terjadi. Arsiran kulanjutkan, goreskan kuhamparkan perasaan gelisah masih membayangi, namun itu wajar adanya. Kulawan kegelisahanku dan coba kuselesaikan gambar ini.

***
Perlahan mulai tergambar sebentuk wajah yang menyirat makna. Memang tidak baik benar bentuk yang ku goreskan, namun ia adalah cerminan hati yang telah kutumpahkan dalam proses ini, sehingga tatapan itu mampu berkata. Aku telah melibatkan hatiku dalam penyelaman jauh tentang komunikasi antara hitamnya pensil dan putihnya kertas. hitam dan putihnya kehidupan berkelebat di dalam pikiranku, sembari aku terus berproses. Aku bukanlah kertas putih mulus yang tadi tampak indah karena kepolosannya. Diriku telah menjadi sebuah kertas yang di atasnya telah bercecer bercak hitam dan beberapa bekas karet penghapus.
Hitam itu membekas di atas kertas putih, beberapa bekas karet penghapus pun memberikan cacat permanen. Seperti diriku yang telah jauh mengarung aliran kehidupan berbercak hitam namun tidak ingin masuk lebih kelam. Hitam itu tidak bisa serta merta dihapuskan, walaupunpun dengan karet penghapus. Hitam itu sudah menjadi bagian dari diriku. Aku yang tidak putih, namun juga tidak ingin selalu hitam. Hitam dan putih berganti mengisi relung diri. Dan lagu hitam putih menemani diriku menggambar dengan hitam yang tiada berteman warna.
Arsiran terakhir ku goreskan, tapi segera pudar oleh tetesan air. entah air dari mana itu, hanya saja, dimataku, gambarku mulai tampak buram, ternyata  mataku menyanyikan lagu sendu. Kutatapi lukisan itu, dan ketikaku sadar, aku telah melukiskan kehidupan. Dan ternyata lukisan itu sangat indah. 1
***
Aku memang tidak memahami kehidupan, Namun ternyata aku mulai mencintainya. Karena dia lukisanku, anak sanubariku… (Diyo)

1 : 3 paragraf yang diinspirasi dari lagu Hitam Putih milik dewa 19.