Archive | September 2015

Hari Pertama Festival Teater Yogyakarta

Dibuka dengan lagu Yogyakarta yang digubah menggunakan konsep “Gamelan Elektrik”, Teater Es Campur menampilkan Cerita dengan Judul “Bahari Haru”. Latar awal berupa nuansa Jogjakarta yang di cuplik dari kehidupan sehari-hari berupa Angkringan. Sama seperti realitas yang terjadi, Teater Es mengambil dialog berupa kehidupan sehari-hari yang diselipkan beberapa sindiran mengenai perkembangan kota Jogja yang mengesampingkan arel terbuka hijau dan mulai membludaknya bangunan pencakar langit yaitu Mall, Hotel dan Kondominium. Namun, setting berupa angkringan merupakan prolog dari adegan yang jauh lebih komplek mengenai imajinasi Sarjana penganggur tentang Jogja masa depan. Didalam adegan prolog tersebut, sarjana penganggur menceritakan mengenai imajinasinya tentang Jogjakarta 100 tahun kemudian.

Konflik yang dibangun dalam imajinasi si sarjana penganggur adalah perihal kisah satir tentang pembangunan kota Jogjakarta di masa yang akan datang yang melakukan pendekatan pelestarian lingkungan. Hal ini dibangun dari premis berupa sabda Sultana mengenai penghapusan Uang dan barang lainnya yang berkaitan dengan kertas karena semakin minimnya Pepohonan yang menjadi bahan utama kertas.  Barang tukar yang berupa uang, didalam cerita diganti menjadi life time, sedangkan uang dan barang yang berasal dari kertas lainnya akan diolah menjadi tanaman kembali untuk menunjang konsep pembangunan Kota Jogja yang pro kepada pelestarian lingkungan. Namun, seperti layaknya kapitalis saat ini, terdapat oknum yang mencoba menguasai “Life time” dari masyarakat yang ada di Kota Jogjakarta dengan cara menukarkan Uangnya Untuk menunjang program pembangunan kota yang berasaskan pelestarian lingkungan.

Secara umum, konflik yang dibangun antar tokoh dan alur cerita dari “Bahari Haru” sangatlah kompleks. Sayang, dalam penggarapan konflik dan alur cenderung kurang menarik. Hal ini mungkin dikarenakan terlalu kompleksnya alur yang melibatkan banyak adegan disetiap babaknya. Dialog terasa kurang kuat, terlebih lagi seringkali artikulasi dan suara pemeran kurang tertangkap dengan baik oleh penonton khususnya penulis yang duduk di barisan belakang kursi penonton. Karakter kunci dari para tokoh juga tampak tidak begitu kuat kecuali, penulis berpendapat, tokoh provokator. Ia mempunyai kebulatan suara yang baik yang semangatnya bisa tersalurkan kepada penonton.

Walaupun demikian, aransemen lagu yang menjadi backsound pementasan teater “Bahari Haru” ini patut diacungi jempol. Menggabungkan dua jenis alat musik yaitu alat musik Modern dan alat musik tradisional yang diwakili oleh gamelan. Aransemen cukup manis dengan gamelan yang menjadi tokoh utama dan genre electrik yang menjadikan musik cenderung lebih hidup. Secara umum, backsound dan aransemen musik dari pementasan “Bahari Haru” ini adalah bagian yang menonjol dari seluruh konsep pementasan yang diusung oleh Teater Es Campur.

Berbeda dengan Teater Es Campur, Teater Sarang Burung yang membawakan judul “Bla…bla…bla…”, menggebrak Concert Hall TBY dengan opening yang memukau. Melibatkan areal penonton menjadi panggung, Teater Sarang Burung membuka pementasan dengan pemeran yang disebar diareal penonton untuk menyanyikan lagu 17 Agustus. Lighting yang digunakan pada opening ini juga menarik untuk dicermati karena pencahayaan tidak berkisar areal panggung saja, namun juga areal penonton yang oleh Teater Sarang Burung diikutsertakan menjadi mega panggung.

Alur yang digarap oleh group yang menjadi penampil kedua ini, sangatlah baik. Teater Sarang Burung mampu menggabungkan antara parodi dan drama yang dibagi menjadi beberapa adegan tanpa kehilangan alur ceritanya. Parodi yang muncul diawal-awal cerita segera saja berubah menjadi klimaks ketika pada adegan upacara, bendera pusaka yang akan dikibarkan lenyap tanpa diketahui keberadaannya. Keadaan menjadi runyam ketika salah seorang tokoh yaitu bapak tua menghembuskan berita yang jauh lebih genting lagi, yaitu Raja diculik! Segera saja Huru-hara berkecamuk, namun, sekali lagi tampak kecermatan dalam membuat sekenario dari cerita ini. Huru-hara dibuat dengan koreografi yang manis, koreografi yang melibatkan para tokoh yang sebenarnya kemunculannya dalam adegan dilakukan dengan satu persatu. Karakter tokoh yang kuat seperti tokoh dalang, Pemimpin Upacara, Petugas Upacara dan seorang orator yang dimunculkan dari massa pencari Raja dan bendera, mampu dileburkan dalam koreografi huru-hara yang manis, dan menyatu dengan karakter lain yang sbelumnya tidak begitu kuat. Proses inilah yang menjadikan perpindahan adegan lebih smooth dan alur lebih menarik untuk dinikmati penonton.

Adegan yang menjadi paling menarik bagi penulis adalah ketika tokoh seorang orator menyanyikan lagu dari Iwan Fals yaitu “Bangunlah Putra Putri Pertiwi“. Karakter dari orator dimainkan sangan baik. Semangat yang dinyanyikan tersalurkan dengan baik sehingga seakan-akan ruang Concert Hall TBY diselimuti oleh semangat. Nuansa semakin kental ketika beberapa pemeran pembantu ikutserta dalam mendendangkan lagu itu. Dengan akting yang sangat baik, adegan ini mampu menyihir penonton untuk takjub dan memaknai pesan yang dibawa oleh lagu ini.

Beberapa saat sebelum akhir cerita, pencarian Bendera Pusaka dan Raja melibatkan hampir semua Tokoh yang ada di dalam cerita. Himpunan semua tokoh ini terjadi karena konspirasi Penculikan raja dan Bendera Pusaka serta Garong yang berusaha mencuri Bendera Pusaka dan menculik Raja juga kehilangan Sang Raja dan Bendera Pusaka tersebut. dan yang menjadi ending dari pertunjukan ini adalah sebuah kontemplasi mengenai pemaknaan Raja dan Pusaka yang bersemayam di benak Penonton teater.

Dari dua penampilan Gruob di hari pertama FTY (Festifal Teater Yogyakarta) ini, Penulis memiliki kecenderungan kepada Teater Sarang Burung yang mementaskan “Bla…bla…bla…” Groub ini menjadi salah satu kandidat juara FTY tahun ini. (Diyo)

image

image

image

image