#ParaPencariGA

KAMI ingin membuat GA yang setidaknya bermanfaat buat banyak orang. Kami ingin Podjok Ringin, meski sedikit, membuka wawasan dan informatif untuk kawan-kawan yang tengah semangat mencari kerja atau mencari sekolah.

Oleh karena itu, secara umum, GA kami kali ini adalah GA yang paling banyak menuntut pesertanya untuk menulis lebih banyak dari GA-GA Podjok Ringin sebelumnya. Namun, kami berusaha tetap menyenangkan dengan menyediakan dua buah buku untuk dua pemenang. Jadi kesempatan menangnya lebih besar.

Bukunya: kumpulan cerita pendek Kuda Terbang Maria Pinto karangan Linda Christanty (buku pemenang Khatulistiwa Literary Award kategori buku Buku Fiksi Terbaik) dan kumpulan cerita sangat pendek Bersepeda Ke Neraka karangan Triyanto Tiwikromo.

Syaratnya masih seperti biasa, simpel, dan mudah, dengan beberapa syarat tambahan. Perhatikan, terutama, nomor empat.

1. Berdomisili di Jawa, Sumatera, dan Bali.

2. Follow akun Twitter @podjokringin.

3. Bagikan info giveaway ini di Twitter dengan tagar #ParaPencariGA, #podjokringin, dan tag akun @podjokringin.

4. Menjawab soal GA kali ini: cerita tentang keterima kerja (untuk yang sudah bekerja) atau masuk di sekolah pilihan (untuk yang masih sekolah). Cerita itu bisa mencakup: kenapa memilih pekerjaan/ sekolah tersebut, proses-proses tesnya dari tahap I sampai selesai, atau bisa juga tips-tips untuk masuk. Tulis nama perusahaan, instansi, atau sekolahnya dengan terang, jangan inisial atau kode.

5. Jawaban bisa: (a) ditulis langsung di kolom komentar atau (b) ditulis di blog masing-masing kemudian menyertakan link-nya saja di kolom komentar.

6. Peserta #ParaPencariGA yang berpartisipasi berarti otomatis bersedia jika tulisannya yang terpilih nanti kami masukkan di blog Podjokringin. Kalau panjang, akan kami jadikan berseri.

7. Kuis #ParaPencariGA berlangsung dari 16 Maret sampai 28 Maret 2017. Pengumuman pemenang pada 31 Maret 2017 di akun Twitter dan blog Podjokringin.

Catatan: Jika ternyata ada tiga tulisan yang bagus, kami akan menyediakan satu buah buku lagi. Tidak masalah.

7 responses to “#ParaPencariGA”

  1. Dydhan says :

    Kyaaaaa…. GA 😍

  2. Alfath says :

    kalau ceritanya tentang masuk kuliah sarjana bagaimana min?

  3. Alfath says :

    Berkuliah sebagai mahasiswa jurusan pendidikan matematika tidak pernah saya impikan sebelumnya. Selain merasa tidak berbakat, nilai ujian akhir nasional matematika saya adalah yang terburuk dari dua ujian lainnya. Namun orang tua saya – terutama ibu saya- melarang putri-putrinya mengambil jurusan yang memiliki prospek kerja di bidang industri, pabrik, dan hal-hal yang ‘mengancam’ keselamatan saya sebagai perempuan dan calon ibu. Terlebih, hanya dua profesi yang diijinkan beliau untuk saya pilih: dokter atau guru.

    Sewaktu membeli formulir SPMB (seleksi serentak masuk PTN) saya sengaja memilih IPC (tes yang melibatkan kemampuan IPS dan IPA). Tentu saja saya itu dikarenakan saya berharap mendapat 3 pilihan PTN. Pilihan 1, saya jatuhkan pada Pendidikan dokter Universitas Negeri Brawijaya Malang. Pilihan 2 dan 3 memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk merenungkan motivasi yang pantas dalam memilih jurusan-jurusan tsb; jurusan pendidikan matematika Universitas Negeri Surabaya dan jurusan pendidikan bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya. Nah mungkin kalau pendidikan bahasa Inggris sebagian besar akan maklum kalau jurusan ini identik dengan ‘globalisasi’, tapi mungkin tidak sedikit yang bertanya..mengapa matematika?

    Berbekal kekaguman saya pada sosok pengajar matematika terbaik di sekolah saya, saya menetapkan beliau sebagai guru yang pantas diteladani. Mahir dalam menerangkan, runtut, konsekuen, dan tepat waktu. Apalagi saat jam tambahan matematika dimulai, beliau langsung memulai dan menerangkan materi walau hanya mendapati saya seorang dalam kelas. Benar-benar profesional. Bahkan ketika teman-teman tunggang langgang karena merasa terlambat, beliau tidak marah sedikit pun. Tapi…jangan sekali-kali berulah saat ulangan matematika. Sambil berdiri, beliau menunggui kami ujian, sesekali kipas-kipas, akan meminta kertas ujian para pelajar yang suka ‘main mata’, dan mengusir mereka dengan segera :D. Alasan lainnya adalah, saya agak tersadar kalau saya merasa lega bila berhasil menyelesaikan suatu persamaan yang bisa saja menghabiskan satu lembar kertas bolak balik, dibandingkan bila harus menghafalkan selembar tulisan. Terakhir, rasa-rasanya, matematika cukup melatih kesabaran saya untuk melakukan sesuatu. Bayangkan, ada soal susah. Mau kesal bagaimanapun wujudnya, mencontek dari teman manapun, kalau tidak paham sama dengan hampa. Penasaran tingkat dewa. Mungkin tiga alasan Itulah yang akhirnya membuat saya memilih matematika daripada fisika, kimia, atau bahkan biologi. Bahkan untuk mendalami fisika, perlu mahir matematika juga kan?

    Saat ujian IPC bagaimanakah rasanya? Olala…jangan ditanya. Saya masih sering belajar IPA, tapi IPS???? Sejarah dunia???? Saya akui saya menguap berkali-kali saat sesi IPS. Saya pun membayangkan asyiknya anak yang ikut tes IPA saja atau IPS saja, pasti mereka sudah leha-leha. Saya tengok kanan, eh dia menguap juga. Saya tengok depannya, eh dia menyandarkan kepala ke kursi. Oh, apakah kelas ini anak IPA semua??? Yang jelas..setelqh keluar ujian SPMB itu..kepala saya berdenyut-denyut. Sampai rumah, malah ibu saya yang semangat mencocokkan jawaban saya dg jawaban pembahasan yang dimuat koran tertentu. Dengan harapan-harapan, beliau menduga saya memperoleh nilai cukup untuk memasuki salah satu pilihan.

    Pengumuman pun tiba, berbekal ‘nebeng’ komputer yang disewa teman SMP saya – Icha namanya – keluarlah nama saya beserta universitas yang bakal menjadi kampus saya. Kampus itu bernama Universitas Negeri Surabaya, dengan jurusan: Pendidikan Matematika. Ya, bukan pilihan pertama yang saya anggap keren itu. Bukan juga pilihan ketiga yang sedang “booming” karena era globalisasi, tapi malah pilihan kedua, yang telah ditunjukkan Sang Pencipta untuk saya.

    Empat tahun kemudian, saya lulus dari jurusan itu. Tidak mudah saya akui. Merasa terdampar waktu awal-awal…sambil menyadari bahwa sekeliling saya juga ‘blesetan’ dari jurusan-jurusan favorit lain kampus ternama. Kemampuan yang minim matematika saya, juga menguji kesabaran saya. Benarkah saya pantas berada di jurusan ini? Namun tahun kedua saya menemukan lagi pengajar-pengajar itu. Mereka yang berkata-kata dibalik angka, berpetuah tak berkhotbah, tak membentak-bentak, apalagi saya kembali menemukan kepuasan bermain dengan angka. Tak apalah saya tak terbaik, asal saya paham akan apa yang dipelajari. Beberapa bahasa pemrograman ringan juga ternyata saya dapatkan disini. Hingga akhirnya, saya bertemu dengan pembimbing yang menginspirasi saya untuk lanjut ke jenjang master degree sekarang ini. Padahal, saya sempat berganti pembimbing karena beragam alasan. Yang pertama, beliau merasa sudah ‘overload’ anak buah, lalu beralih yang kedua… ternyata beliau kecelakaan dan perlu pemulihan, pembimbing ketiga….beliau hanya mau membimbing sampai seminar tanpa proposal, lalu beliau mengenalkan yang terakhir ini lah yang mau membimbing saya, bahkan setelah wisuda pun beliau tak henti melatih saya menulis, menyusun CV, mengikutkan saya sebagai anggota IFED (saya lupa singkatannya dan sekarang sedang nonaktif, para member sedang mencar kemana-mana), mencekoki saya dengan jurnal bahasa inggris yang tidak mudah dipahami itu, dan tentu saja selalu mendukung saya kalau ingin melakukan penelitian berkaitan dengan matematika dan teknologi – khususnya internet. Namun beliau telah terbang dan bekerja di negara lain.

    Karena saya menceritakan masa kuliah S-1 saya, maka tips yang bisa saya bagi untuk masuk unesa adalah tips saat mengikuti jalur yang ada wawancaranya. Saya mendapatkan tips ini saat berunding dengan Ex-bos saya, saat dulu mengajar di Bimbingan Belajar Zero. Dia alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa), namun dari jurusan pendidikan sejarah. Kalau pewawancara bertanya, “Apa motivasimu masuk Unesa?” maka jawablah apa adanya dan tidak muluk-muluk. Jawaban “Saya disuruh orangtua saya” lebih memiliki peluang diterima daripada alasan yang panjang kali lebar menghasilkan luas. Jadi, jawablah pertanyaan dengan jujur, bukan karena ingin mengesankan.
    Alfath
    @alfari_12

Leave a comment